YOGYAKARTA – Penambangan emas tradisional yag tidak terkendali di sungai sangon, Kulon Progo, menyebabkan pencemaran sedimen sungai oleh unsur merkuri. Unsur merkuri yang ada di sedimen sebagian mengalami transformasi oleh aktivtas bakteri indigenous. Transformasi itu menghasilkan spesies mekuri yang lebih toksik, antara lain metil merkuri yang pada umumnya terakumulasi di dalam sedimen.
Demikian diungkapkan dosen FMIPA Universitas Sriwijaya, Sumsel, Drs. Suheryanto, M.Si, dalam ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor dirinya di sekolah pascasarjana UGM, Senin (20/12).
Dalam disertasi yang berjudul “Demetilasi Metilmerkuri oleh Bakteri yang Diisolasi dari Sedimen Sungai Sangon”, Suheryanto memaparkan bahwa penelitian tersebut dilakukan bertujuan untuk mempelajari nasib metil merkuri di sedimen sungai sangon dan transformasi metil merkuri oleh aktivitas bakteri indigenous.
“Penelitian ini untuk menentukan tingkat pencemaran total merkuri dan metil merkuri di sedimen sungai sangon, dan mendapatkan bakteri indigenous yang resisten terhadap metal merkuri dan berperan aktif dalam demetilasi metil merkuri, kemudian mengkaji mekanisme demetilasi metilmerkuri oleh isolat bakteri indigenous,” kata promovenduz yang lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan.
Dihadapan tim penguji yang diketuai Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS, Suheryanto menjelaskan penelitian tentang metilmerkuri di sungai sangon ini diawali dengan analisis merkuri di sedimen sungai sangon menggunakan metode GLS (gas liquid chromatography) dan CV-AAS (cold vapour atomic absoption spectrometry). Hasil penelitian menunjukakn bahwa tingkat pencemaran total merkuri dan metilmerkuri bervariasi. Total merkuri daerah hulu 236, 67 ng/g, daerah tengah 154,25 ng/g, daerah hilir 70,25 ng/g, sedangkan metal merkuri daerah hulu 48,50 ng/g, daerah tengaj 96,25 ng/g dan daerah hilir 55,00 ng/g.
“Keberadaan metilmerkuri di dalam sedimen itu membuktikan bahwa unsur merkuri teroksidasi menjadi ion merkuri. Kemudian mengalami metilasi oleh bakteri penghuni sedimen,” katanya.
Ia menambahkan, metil merkuri bersifat toksik terhadap biota air termasuk bakteri, bahkan mematikan bakteri yang terdapat dalam sedimen. “Hasilnya beberapa jenis bakteri yang bersifat toleran dan beberapa diantaranya dapat memanfaatkan metal merkuri sebagai sumber energi,” ujarnya.
Sementara dalam melakukan isolasi bateri dengan teknik kultur diperkaya dengan sistem sekali unduh, menunjukkakn terdapat 82 isolat bakteri pengguna metil merkuri berhasil diisolasi. Setelah diseleksi, hanya 6 isolat bakteri yang resisten dan tumbuh menggunakan metilmerkuri. Isolat itu adalah strain SDM 41, SDm 78, SDm 81, SDPM 8a, SDPM 8b, dan SDPM 24. “Keenam isolate bakteri mampu tumbuh pada medium yang mengandung metilmerkuri pada berbagai konsentrasi,” tuturnya.
Keenam isolat itu telah berhasil diidentifikasi dengan alat BD phonix dan mempunyai karakter yang spesifik dalam demetilasi metilmerkuri. Keenam isolate bakteri itu mempunyai kemiripan dengan brevundimonas diminuta (strain SDM 41), Bacillus cereus (strain SDm 78), Empedobacter brevis (strain SDM 81), klebsiella pneumonia (strain SDPM 8a), pseudomonas aeruginosa (strain SDPM 8b) dan spingomonas paucimobilis (strain SDPM 24).
Selain itu, Suheryanto juga melakukan uji kemampuan demetilasi metilmerkuri melalui percobaan pertumbuhan untuk mengkaji mekanisme demetilasi metilmerkuri oleh bakteri dalam skala laboratorium. Diketahui, kemampuan demetilasi metal merkuri mennunjukkan adanya penurunan konsentrasi metilmerkuri pada fase eksponensial akhir pertumbuhan. Namun, penurunan konsentrasi metilmerkuri tertinggi ditunjukkan oleh strain SDM 81 dan SDM 8a. (Humas UGM/Gusti Grehenson)