Wujud ketidaksuksesan desentralisasi dan otonomi daerah telah menunjuk pada ketidakpastian aturan main (rules of the game). Hal ini akhirnya berdampak pada biaya ekonomi tinggi (high cost economy) untuk penyediaan layanan publik dan pembangunan ekonomi daerah.
Sejumlah studi di negara maju dan berkembang menunjukkan berlakunya undang-undang desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong pelaksanaan akuntabilitas secara horizontal. Meski begitu, kondisi ini juga membuka peluang terjadinya saluran (channels) baru bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang (money politic), lobi-lobi (lobbying), suap (bribery) atau gratifikasi. “Selain itu, salah satu risiko pemberlakuan dari sistem ini memungkinkan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah,” kata Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc,Sc., Ph.D., di Balai Senat, Kamis (23/12), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa ketidaksuksesan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah disebabkan desain kelembagaan (institutions design) yang dibangun tidak efisien. Inefisiensi kelembagaan ini disinyalir menjadi penyebab mendasar terjadinya stagnasi ekonomi di beberapa negara berkembang dan negara industri masa lalu.
“Runtuhnya ekonomi Uni Sovyet, Asia Tengah, dan Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin serta Kepulauan Karibia menjadi bukti hal ini,” tutur Wakil Dekan Bidang Mahasiswa, Alumni, Kerja Sama, dan Pengembangan Usaha FEB UGM ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Menurut Wihana, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dimulai tahun 1974 hingga 2010 menjadi fenomena laboratorium penelitian ekonomi kelembagaan yang sangat dinamis, menarik, dan menantang untuk diteliti. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya telah mengubah aturan main yang sangat drastis (big bang changes), tetapi juga mengubah organisasi, perilaku pelaku, dan sumber daya manusia.
Dikatakan Wihana, perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berupa perubahan pemerintahan yang dahulunya pemerintahan sangat otoriter menjadi sangat demokratik. Bentuk pemerintah yang dahulu sangat sentralistik berubah menuju desentralistik. “Namun sayang, aturan-aturan ini belum diikuti perubahan tata kelola (governance) yang baik,” katanya.
Sebelas tahun terakhir, penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah menghasilkan sisi positif dan negatif. Di samping meningkatkan transparansi informasi, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memunculkan peluang dominasi kontrol oleh elit lokal, yang pada akhirnya menghasilkan informasi yang tidak utuh (asymmetric information). “Pada gilirannya, ini pun berdampak pada inefisiensi kelembagaan (institution inefficiency),” lanjutnya.
Suami dr. Usi Sukorini, M.Kes., Sp.PK(K) ini menilai lemahnya pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack of enforcement) menjadi hal yang krusial dalam hubungan pelaku desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent). “Karena sering kali terjadi ketidakharmonisan kelembagaan, serta menciptakan kemacetan (bottleneck) bagi terselenggaranya tata kelola yang baik,” pungkas ayah Arya Pradipta, Damas Nawanda, dan Dea Karina ini. (Humas UGM/ Agung)