Historisitas perubahan sosial dikelola negara secara langsung berpengaruh terhadap keberadaan novel. Dalam konteks pengelolaan tersebut, novel-novel melakukan berbagai transformasi baik dalam rangka afirmasi, konfirmasi, dan resistensi terhadap cara negara dalam mengelola perubahan sosial tersebut. Pada masa Orde Baru, cara-cara novel melakukan transformasi lebih dalam cara-cara kompromistis dengan melakukan berbagai strategi pengamanan teknis bercerita.
Hal tersebut disampaikan Drs. Aprinus Salam, M.Hum., staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM saat menempuh ujian terbuka Program Pascasarjana FIB UGM, Selasa (21/12) di Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo FIB. Dikatakan Aprinus, novel-novel memperlihatkan bahwa keberadaan negara dalam masyarakat adalah relasi diskursif negara sebagai sosok penolong yang menakutkan. Hal ini disebabkan novel sacara tidak langsung menghadirkan fenomena dan apartus negara dalam dua wajah kontradiktif. “Pada satu sisi negara ditampilkan ramah, sementara di lain sisi negara ditampilkan sebagai penghukum. Namun wajah penghukum yang menakutkan tampak lebih dominan,â€jelasnya.
Menurut pria kelahiran Riau, 7 April 1965 ini, dalam novel yang terbit pada tahun 1980-an dan 1990-an, menggambarkan bahwa factor-faktor perubahan sosial, seperti agama, pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, tradisi, sumber daya manusia, dan seks yang dikendalikan negar merupakan factor yang tidak terintegrasi, tumpang tindih dan rancu. Sebagai akibatnya cerita mengenai proyek negara untuk membangun warga negara menjadi manusia seutuhnya dalam koridor masyarakat adil dan makmur, adalah proyek manipulatif yang saling bertentangan. Dalam situasi tersebut manusia tidak akan mpernah menjadi utuh karena menjadi kekuatan tandingan hegemoni atau dominasi negara.
Saat mempertahankan disertasi berjudul “Negara dan Perubahan Sosial: Kajian Wacana dan Sosiologis Atas Novel-Novel Indonesia Tahun 1980-an sampai 1990-anâ€, disebutkan Aprinus, pada tingkat ideologis novel-novel memberikan pilihan bukan modernisme/tradisionalisme, melainkan suatu osmosis yang keratif dalam mempraktekan dua situasi dan kondisi histories yang berbeda. “Novel-novel berpihak pada situasi kasuistik manusia secara berbeda untuk setiap situasi dan kondisi yang beragam,†terangnya.
Dikatakan suami Sri Pristiwaningsih ini, cerita pada novel yang terbit tahun 1980-an hingga 1990-an ceritanya cenderung kompromis sebagai pilihan strategis dalam mengamankan cerita berhadapan dengan kepentingan symbol-simbol negara. “Meskipun begitu, secara umum cerita-cerita dalam novel memberi kesan yang muram sebgai sebuah ungkapan ketidakbahagiaan yang terlihat hampir di setiap cerita berujung pada rasa kecewa, sakit hati, keraguan, kesepian, dan kepura-puraan,†kata Aprinus.
Lebih lanjut dikatakan Aprinus negara dalam novel diperlihatkan sebagai sosok yang gagal dalam memahami dan memparktekan prinsip modernisasi dan pembangunan manusia seutuhnya. Hal itu terlhat dari tidak terintegrasinya pengertian dan praksis manusia modern dan manusia seutuhnya.
Ditambahkan Aprinus, cerita mengenai negara, masyarakat dan perubahan sosial merupakan kritik terselubung yang tidak terdeteksi oleh apparatus negara dan masyarakat. “Itulah sebabnya, novel-novel itu tidak sukses dalam membangun dikursus tandingan karena kritik dalam novel tidak terdeteksi. Novel justru menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan dalam menjalankan program pembangunan,†pungkasnya. (Humas UGM/Ika)