Danau Rawapening merupakan salah satu danau di Indonesia yang memiliki problem pendangkalan dan degradasi kualitas air. Dalam kurun waktu 22 tahun (1976-1998), volume Danau Rawapening mengalami penurunan 29,34%. Menurut prediksi, jika pendangkalan danau dan erosi di daerah hulu tidak berubah, pada tahun 2012 Rawapening akan berubah menjadi daratan. “Secara ekologis, Danau Rawapening telah banyak mengalami perubahan yang diindikaskan dengan tidak terkontrolnya pertumbuhan gulma air, yang umumnya berkaitan dengan proses eutrofikasi yang menyebabkan pendangkalan,†kata Dra. Tri Retnaningsih Soeprobowati, M.App.Sc., staf pengajar Fakultas Biologi Universitas Diponegoro, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor Program Studi Ilmu Lingkungan, Selasa (21/12), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dikatakan Soeprobowati saat mempertahankan disertasi yang berjudul “Analisis Diatom Protokol Indonesia untuk Rekonstruksi Danau Rawapening, Jawa Tengah, Indonesiaâ€, penelitian tentang Danau Rawapening sudah cukup banyak dilakukan, tetapi belum pernah ada yang mengkaji rekonstruksi pada danau ini. Rekonstruksi dilakukan berdasar penunjuk organisme yang tersimpan dalam lapisan sedimen sehingga mencerminkan kondisi lingkungan pada saat organisme diendapkan. Organisme yang mampu mengindikasikan lokasi, status, dan kualitas air dikenal sebagai bioindikator. “Diatom, alga, memiliki potensi sebagai bioindikator karena dinding selnya tersusun dari silik sehingga terawetkan selama proses deposisi. Diatom merupakan alga yang bisa ditemukan di setiap perairan tawar yang mempunyai peranan sangat penting dalam sikulus silica dan karbon,†jelas wanita kelahiran Blora, 29 April 1964 ini.
Di Indonesia, lanjut Soeprobowati, penelitian sebagai bioindikator kualitas air telah dilakukan di tujuh sungai dan ekosistem mangrove di daerah Pantai Utara Jawa Tengah, Namun, analisis diatom mengacu pada metode analisis yang dikembangkan oleh negara lain karena belum ada metode yang berasal dari Indonesia untuk dapat diimplementasikan.
Analisis diatom oleh istri Drs. Sugeng Maryanto, M.Kes. ini dilakukan dalam tiga tahap, yakni digesti untuk memisahkan diatom dari partikel sedimen, pembuatan preparat diatom, dan identifikasi enumerasi. Berdasar 294 sampel diperoleh efisiensi diatom di atas 80% pada jumlah valva 200 dan di atas 90% pada jumlah valva 300.
Berdasar atas rekonstruksi kondisi masa lampau Danau Rawapening yang dilakukan Soeprobowati, diketahui bahwa konduktivitas, pH, dan total fosfor menunjukkan kecenderungan perubahan berkaitan dengan curah hujan. Lokasi penelitian asinan dengan sampel sedimen yang diperoleh paling tebal (63cm), yang merupakan representasi kondisi ekologis Danau Rawapening. Empat zona yang terbentuk mengindikasikan semakin meningkatnya kandungan total fosfor perairan sejak tahun 1990 hingga saat ini.
Lebih lanjut dikatakan Soeprobowati, perubahan tata guna lahan di daerah tangkapan Danau Rawapening, seperti intensifikasi pertanian dengan pemanfaatan pupuk di daerah tangkapan danau dan rendahnya curah hujan antara tahun 1984-1990, mengindikasikan kenaikan konsentrasi total fosfor semakin tinggi. “Pengembangan manajemen danau secara terpadu dan berkelanjutan dapat dikembangkan berbasis hasil rekonstruksi kondisi ekologi di masa lalu sehingga prediksi perubahan di masa mendatang dapat diantisipasi,†jelas wanita yang meraih gelar doktor UGM ke 1.317 dengan predikat cum laude. (Humas UGM/Ika)