Bagi perusahaan, merger merupakan strategi untuk meningkatkan efisiensi. Namun, bagi masyarakat, merger justru menimbulkan dampak yang kontradiktif. Dampak pertama adalah efisiensi industri yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak yang lain berupa market power yang dapat menimbulkan welfare loss. “Welfare loss tentu saja dapat merugikan masyarakat. Karena dua dampak yang kontradiktif inilah merger harus dievaluasi untuk meminimalkan dampak negatif yang dapat timbul di masyarakat,” kata Dra. Murti Lestari, M.Si. di Auditorium BRI FEB UGM, Rabu (22/12), dalam ujian terbuka program doktor.
Menurut Murti, pentingnya evaluasi dini terhadap merger perbankan disebabkan peran strategis sektor ini dalam perekonomian sebagai lembaga intermediasi dan infrastruktur kebijakan moneter. Karena peran inilah, industri perbankan harus memiliki kinerja baik untuk mendukung perekonomian secara umum.
Dalam disertasi “Analisis Ex-Ante Dampak Merger Bank pada Industri Perbankan di Indonesia Tahun 1993:1-2009:1”, Murti menjelaskan penelitiannya bertujuan untuk menganalisis ex-ante dampak merger bank terhadap industri perbankan Indonesia. Dalam penelitiannya Murti menggunakan dua indikator untuk mengamati, yakni precondition dan the lesson from similar experiences in the past. Precondition dilakukan dengan cara mengukur struktur industri dan elastisitas permintaan kredit, sementara the lesson from similar experiences in the past mengambil kasus merger Bank Mandiri, Bank Danamon, dan Bank Permata. “Sehingga di samping mengukur struktur pasar dalam industri perbankan Indonesia, penelitian ini juga bertujuan mengukur elastisitas permintaan kredit serta analisa respon atas merger pada kinerja dalam merger Bank Mandiri, Bank Danamon, dan Bank Permata,” terang perempuan kelahiran Salatiga, 31 Maret 1966 ini.
Dari studinya, Murti berkesimpulan bahwa struktur industri perbankan Indonesia adalah oligopolis. Elastisitas permintaan kredit di Indonesia -0,1779 atau kurang dari 1 (inelastis). Hal ini berarti bila suku bunga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, maka penurunan jumlah permintaan kredit lebih kecil daripada kenaikan suku bunga tersebut. Demikian pula sebaliknya bila terjadi penurunan suku bunga. “Dari kesimpulan tersebut maka gelombang merger yang mungkin muncul karena adanya kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Single Presence Policy (SPP) diperkirakan menurunkan persaingan dan meningkatkan kekuatan monopoli,” tutur dosen Fakultas Ekonomi Universitas Duta Wacana ini.
Dari pengamatan merger pada tiga bank disimpulkan bahwa merger Bank Permata menghasilkan respon kinerja lebih baik dibandingkan dengan merger dan konsolidasi pada Bank Danamon dan Bank Mandiri. Merger pada Bank Permata tidak menimbulkan guncangan kinerja hingga memunculkan jeda struktural, sementara merger pada Bank Mandiri dan Bank Danamon memunculkan jeda struktural.
Meskipun tidak menimbulkan guncangan kinerja kredit, laba, dan BOPO, merger Bank Mandiri dan Bank Danamon menimbulkan guncangan kinerja yang berkaitan langsung dengan konsumen (nasabah), yakni terjadinya spread. Oleh karena itu, untuk kembali pada posisi stabil, merger pada Bank Mandiri dan Bank Danamon memerlukan waktu yang lebih lama daripada merger pada Bank Permata. “Untuk itu, jika dilakukan merger pada bank besar, bentuk merger dan akuisisi dengan mempertahankan salah satu existing bank memberikan respon kinerja yang lebih baik daripada konsolidasi,” pungkas Murti Lestari yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi doktor ke-1320 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)