MAGELANG – Tim Satgas Mitigasi Bencana Merapi (SMBM), Fakultas Teknik (FT) UGM, Rabu (22/12) malam, melakukan kampanye pengurangan risiko bencana banjir lahar dingin lewat pementasan wayang waton di Padepokan Cipto Budaya, Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Salah satu anggota tim SMBM FT UGM, Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, M.Sc., ikut andil dalam pementasan wayang waton yang mengambil judul “Golek Banyu Bening”.
Dalam adegan dialog dengan para pemain dan berinteraksi dengan penonton, Dwikorita mengingatkan masyarakat agar selalu waspada akan bahaya banjir lahar dingin dengan mengetahui tanda-tandanya. “Yang paling diutamakan menyelamatkan diri masing-masing dengan mengajak anak, istri, dan orang tua untuk mengungsi,” kata Ketua Jurusan Geologi UGM ini.
Apabila terjadi banjir lahar, Dwikorita meminta masyarakat untuk segera menyelamatkan diri dan tidak berlama-lama berdiam di rumah atau berada di area sekitar 300 meter dari bantaran sungai. “Melainkan berada sejauh 500-hingga 1 km dari sungai,” pesannya.
Pakar longsor UGM ini juga menjelaskan beberapa barang yang mesti disiapkan dan dibawa saat akan keluar rumah. Salah satunya adalah mengepak surat-surat berharga, seperti ijazah, sertifikat rumah, dan surat-surat berharga lainnya. “Bawa juga obat-obatan, air minum, senter apabila keluar rumahnya pada malam hari,” katanya.
Acara pementasan yang berlangsung pada pukul 20.00 hingga 22.30 ini disaksikan oleh penduduk Dusun Tutup Ngisor dan sekitarnya. Anak-anak hingga orang dewasa tampak hadir memenuhi seluruh ruangan pedepokan, bahkan mereka terpaksa rela berdiri untuk menyaksikan pertunjukan yang banyak melontarkan humor-humor segar tersebut.
Alur cerita yang dimainkan oleh 24 pemain ini membawa nilai-nilai pesan akan pentingnya menjaga keselamatan diri saat terjadi banjir lahar Merapi. Dikisahkan bahwa keluarga Pak Bayan panik dan bingung saat mendengar pengumuman akan adanya banjir lahar dari Gunung Merapi. Mereka pun diminta untuk mengungsi. Terjadilah perdebatan sengit antara Pak Bayan dan istrinya. Sang istri bersikeras ingin membawa semua barang elektronik seisi rumahnya, seperti TV, kulkas, dan kipas angin untuk diselamatkan. Demikian pula tetangganya, berencana ingin membawa selimut, kasur, dan tikar serta kompor gas ke tempat pengungsian agar dapat tinggal nyaman selama di pengungsian. Di tengah perdebatan tersebut, muncullah Dwikorita tampil ke atas panggung untuk menjelaskan kepada keluarga Pak Bayan agar lebih memprioritaskan keselamatan diri daripada harta benda saat mengungsi.
Ketua Paguyuban Padepokan Cipto Budoyo, Sitrat Anjilin, yang menjadi dalang dalam pementasan tersebut mengaku padepokannya untuk keempat kalinya dalam bulan Desember ini mementaskan wayang waton untuk kampanye pengurangan risiko bencana lahar dingin. Sebelumnya, sudah dilakukan pementasan di Desa Jumoyo dan Mantingan.
Tiap kali pentas, kata dalang wayang waton ini, dirinya lebih banyak menampilkan cerita yang berbau humor untuk menarik antusiasme penonton. “Kita sengaja menampikan banyak humor agar lebih komunikatif dengan penonton,” katanya.
Untuk pentas wayang waton di hadapan korban lahar dingin Merapi ini biasanya ia membawa kru sebanyak 24 orang. “Kalau untuk pentas besar, kita bisa membawa kru hingga 70 orang,” ujar bapak dua anak yang mengaku semua kru merupakan warga yang tinggal di sekitar padepokan miliknya.
Karena tema yang diangkat dalam pentas kali ini berhubungan dengan air, dengan santai Sitrat mengatakan judul “Golek Banyu Bening” dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya keberadaan air sebagai sumber kehidupan manusia. “Supaya orang tahu, air itu sangat penting. Ada air, maka ada masa depan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)