YOGYAKARTA-Rekonstruksi identitas etnik dapat terjadi karena adanya pendefinisian etnisitas, adaptasi atau tradisi, di samping adanya peluang elit yang memegang kekuasaan dan memanipulasi sentimen etnisitas. Dari keseluruhan proses reka ulang identitas etnik ini dihasilkan transformasi orang Pakpak menuju entitas politik yang sadar akan kelompok etniknya.
Entitas politik ini memproduksi simbol teritorial dan simbol politis, yakni Kabupaten Pakpak Barat. Namun, sebagai akibat dari proses historis yang berbeda-beda dalam subkelompok etnik ini, terutama terbelahnya orang Pakpak menjadi lima suku dengan orientasi keagamaan yang berbeda, membuat etnik Pakpak menghadapi persoalan dalam membentuk sebuah entitas kultural yang terpancang berdiri tegak sebagai satu kesatuan di tanah adatnya. Hal ini menjadi tantangan besar dalam mengonsolidasi dan mengkristalkan konstruksi identitas etnik Pakpak pada masa mendatang. “Dari seluruh proses reka ulang identitas etnik ini akhirnya menghasilkan orang Pakpak menuju entitas politik yang sadar akan kelompok etniknya,†terang Drs. Budi Agustono, M.Hum. dalam ujian doktor di Ruang Multimedia Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (27/12).
Dalam ujian tersebut, Agus mempertahankan disertasi yang berjudul Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003. Hadir sebagai penguji dalam kesempatan itu, Dr. Ida Rochani Adi, S.U., Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. (promotor), Prof. Dr. Djoko Suryo, Prof. Dr. Djoko Soekiman, Dr. Sri Margana, M.Phil., Prof. Dr. Purwo Santoso, Prof. Dr. R.M. Soedarsono, dan Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A. Dalam ujian tersebut, Budi berhasil mempertahankan penelitiannya dan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Di hadapan tim penguji, Budi mengatakan tujuan penelitian yang dilakukannya adalah untuk menjelaskan politik identitas dan perebutan ruang politik dalam pembentukan identitas kultural kelompok etnik di tengah perubahan rezim sejak Indonesia merdeka. Kajian etnisitas dan formasi identitas sebagian besar banyak dikerjakan oleh antropolog dan sosiolog, sedangkan sejarawan masih sedikit yang memberi perhatian terhadap kajian etnisitas ini. “Ada kesan kajian dalam historiografi Indonesia mengenai etnisitas seperti terabaikan,†imbuh staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, ini.
Teori penelitian ini adalah bahwa relasi antara etnisitas dan identitas jalin berkelindan. Etnisitas dapat berubah-ubah, tergantung dengan siapa ia berinteraksi. Identitas etnik merupakan fenomena yang adaptif dan dalam merespon situasi yang berubah, batasan-batasan kolektifitas dapat meluas, bahkan orang atau sebagian orang dapat keluar dan masuk dalam lebih dari satu komunitas. “Dengan demikian, etnisitas merupakan hal yang dinamis, tidak pasti, not a fixed, dan berubah dalam hubungan politik dan sosial. Penelitian ini sekaligus memakai pendekatan instrumentalis dalam menjelaskan rekonstruksi identitas etnik Pakpak,†kata pria kelahiran Deli Serdang, 5 Agustus 1960 ini.
Beberapa hasil penelitian yang diperoleh, antara lain, pertama, kedatangan Belanda selain menggabungkan Tanah Pakpak dalam orbit kekuasaan kolonial, juga memarginalisasi elit tradisional Pakpak. Kedua, migrasi Batak Toba ke Tanah Pakpak yang dimulai pada awal abad kedua puluh telah melemahkan identitas kultural penduduk asli ini. Setelah itu, muncul pelabelan-pelabelan etnik yang merendahkan orang Pakpak.
Ketiga, setelah menguasai permukiman dan mayoritas penduduk di wilayah ini, terutama di Sidikalang, orang Batak Toba mulai mengganti nama-nama tempat yang menyimbolkan identitas kultural Pakpak dengan bahasa Batak Toba, misalnya sungai yang sebelumnya bernama aek sibellen (Pakpak) diubah menjadi lae simbolon (Batak Toba), Desa Sikaliki (Pakpak) menjadi Palipi, dll.
Keempat, sejak kristenisasi masuk ke Tanah Pakpak, orang Pakpak bergereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Bersamaan dengan semakin menguatnya identitas etnik, orang Pakpak melakukan gerakan pemisahan gereja dari HKBP. Setelah melakukan serangkaian konflik antara orang Pakpak dengan HKBP, akhirnya pada 1991 berdiri gereja etnik Pakpak bernama Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD). (Humas UGM/Satria AN)