YOGYAKARTA – Budayawan Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun, untuk pertama kalinya menyampaikan orasi budaya di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH), Rabu (29/12) malam. Di tempat yang sama, orasi budaya pernah disampaikan oleh almarhum penyair W.S. Rendra. Kali ini, Emha berorasi diiringi lantunan musik Kyai Kanjeng yang membawakan lagu-lagu religius.
Dalam orasinya, Emha menegaskan Yogyakarta tidak hanya istimewa sebagai ibukota Indonesia sebelumnya, tetapi juga ibukota dari kebudayaan dunia karena ditemukan beragam bentuk budaya dengan masyarakat yang istimewa. “Yogyakarta sangat istimewa karena punya keanekaragaman budaya dan alam, salah satunya Merapi, merupakan tempat penemuan ekologi dan geologi dunia,” kata Emha.
Terkait dengan keistimewaan DIY, Emha menuturkan masyarakat Yogyakarta sangat tangguh menghadapi polemik status keistimewaan meskipun pemerintah pusat memiliki pandangan berbeda dan berseberangan dengan apa yang diinginkan oleh mayoritas masyarakat DIY. “Saya melihat DIY yang sedang teraniaya, tapi hal ini jangan disesali. Barangkali kita sedang diberi kewaspadaan oleh Tuhan agar tidak lupa diri,” ujarnya.
Kepada masyarakat DIY, Emha meminta untuk memperbanyak pekerjaan yang berhubungan dengan kebudayaan, kemanusiaan, dan sosial dalam melakukan upaya rehabilitasi pascabencana Merapi. “Banyak ruang kosong yang bisa kita isi dengan pekerjaan-pekerjaan yang mempererat hati nurani,” tambahnya.
Di tengah orasinya, Emha sempat mengajak beberapa orang lurah dan kepala desa di Kecamatan Cangkringan untuk tampil ke atas panggung. Emha mengajak dialog interaktif dengan para lurah untuk menyampaikan keluh kesahnya sehubungan dengan kondisi yang dialami warganya usai bencana Merapi. Lurah Kepuharjo, Heri Suprapto, menyampaikan semua warganya kini tidak memiliki rumah untuk dapat dihuni, bahkan lahan pertanian rusak dan hewan ternak mati terbakar oleh awan panas. Satu-satunya sumber penghasilan mereka hanyalah dengan menjual pasir dari hasil erupsi Merapi. Namun, mereka tetap belum leluasa mengelola pasir tersebut karena masih dalam wewenang Pemkab Sleman. “Tolong Bapak Rektor dan Pak Dekan, gimana caranya pasir kami tidak dirampok orang,” katanya lirih.
Menanggapi hal itu, Cak Nun mengatakan dirinya sengaja mengundang rombongan kepala desa di sekitar lereng merapi untuk hadir dalam orasinya kali ini. Ia berharap UGM bisa memberikan solusi yang dihadapi masyarakat korban erupsi merapi. Mengingat potensi pasir dari erupsi merapi bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan warga masyarakat sehingga tidak lagi bergantung pada pemerintah. “Kalo bisa dipandu oleh keluarga UGM untuk menengahi masalah ini,” ujar Cak nun.
Sebelum Emha menyampaikan orasi, Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D., dan Wakil Rektor Senior Bidang Administrasi, Keuangan dan SDM Prof. Ainun Na’iem, M.B.A., Ph.D., berkesempatan membacakan puisi. Sudjarwadi, membacakan puisi ‘Mata Hati Memandangmu’ hasil karyanya sendiri yang ditulis tahun 1964. “Inilah puisi pertama yang saya buat 46 tahun lalu, setelah itu saya tidak pernah lagi membaca puisi karena harus kuliah sambil bekerja,” kata Sudjarwadi kalem.
Lain halnya dengan Ainun naiem. Ia mengaku diberi kesempatan membaca puisi merupakan pertama kali dalam hidupnya membacakan sebuah puisi. “Saya sudah coba menulis puisi sendiri. Setelah saya baca berulang-ulang, rasanya saya tidak pandai menulis puisi,” kata Ainun sambil tersenyum, yang akhirnya memilih membacakan puisi ‘Orang-orang Miskin’ karya WS Rendra. (Humas UGM/Gusti Grehenson)