YOGYAKARTA-Untuk mengenang pindahnya pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 lalu, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM menggelar peringatan ‘Republik Yogya’. Menurut Penasihat PKKH UGM, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A.(K), peringatan ‘Republik Yogya’ digelar Selasa (4/1) di PKKH UGM. Acara yang sejak tahun 2007 telah dilaksanakan sebanyak empat kali ini nantinya akan diisi dengan stadium generale (kuliah umum) oleh sejarawan UGM, Prof. Dr. Suhartono Wiryopranoto. “Beliau ini bahkan mempunyai beberapa dokumen foto penting terkait peran Kraton dan Yogyakarta atas kemerdekaan Indonesia,†kata Sutaryo kepada wartawan di Ruang Fortakgama UGM, Senin (3/1).
Sutaryo mengatakan peringatan kepindahan ibukota NKRI dari Jakarta ke Yogyakarta telah diadakan pada tahun 2007, 2008, 2009, dan awal 2011 ini. Acara ini sekaligus bertujuan untuk mengingatkan generasi muda dan para pemimpin bangsa bahwa Yogyakarta pernah menjadi ibukota NKRI. “Berdirinya UGM sendiri juga berhubungan dengan pindahnya ibukota NKRI dari Jakarta ke Yogyakarta waktu itu,†katanya.
Dalam acara yang akan dihadiri oleh para guru besar, dosen, mahasiswa, pegawai hingga masyarakat umum ini selain untuk mengingatkan kembali peran dan jasa Yogyakarta dalam sejarah perjuangan, juga untuk meneguhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang saat ini dikikis oleh berbagai persoalan multidimensi. “Kalau kita mengaca dengan peristiwa itu, maka Indonesia bisa kuat melalui persatuan dan kesatuan semua elemen,†terang dokter spesialis anak ini.
Sutaryo memberikan bukti nyata peran dan perjuangan masyarakat Yogyakarta pada waktu itu. Jumlah masyarakat Yogyakarta yang tewas berjuang kala itu mencapai lebih dari 2.718 orang, 539 orang hilang, dan 736 orang luka-luka.
Saat itu, berita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, diterima oleh kantor Domei Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII langsung mengirim ucapan selamat atas berdirinya RI dan terpilihnya Ir. Sukarno serta Drs. Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Selain itu, berita proklamasi juga disiarkan lewat kutbah Jumat di Masjid Besar Kauman. “Sore harinya, Ki Hajar Dewantara bersama murid-murid Tamansiswa juga memberitakan kemerdekaan Indonesia. Jadi, memang tidak main-main jasa Yogyakarta pada saat itu,†kata Sutaryo.
Kraton Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki andil besar dalam sejarah berdirinya NKRI. Saat agresi militer Belanda II saat Yogyakarta diserang Belanda tahun 1949 dan banyak pemimpin negara yang ditawan Belanda, Sultan bahkan menyiapkan pemerintahan darurat. Namun, Yogyakarta kembali dapat direbut dalam perang rakyat 1 Maret 1949 dan pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan. Selanjutnya, pada 17 Desember 1949, di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI. “Bahkan, saat itu Sultan menyerahkan dana 6 juta gulden untuk menjalankan Pemerintahan Indonesia kepada Soekarno karena pemerintah memang belum memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan,” tuturnya.
Di tempat yang sama, pengurus PKKH yang juga menjabat Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Drs. Arief Akhyat, M.A., menambahkan keistimewaan Yogyakarta bukan saja dari sisi politis, melainkan juga ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan religi. Demokrasi di Yogyakarta sudah lama berjalan dengan baik sehingga rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan damai. “Lihat saja bagaimana dibangunnya beberapa tempat ibadah, seperti kelenteng yang bisa berdampingan dengan masjid atau gereja waktu itu. Sementara di daerah lain itu menciptakan konflik,†kata Arief. (Humas UGM/Satria AN)