YOGYAKARTA – Potensi kawasan karst di Indonesia yang mencapai 140 ribu kilometer persegi belum dimanfaatkan secara baik oleh para pemangku kepentingan. Akibatnya, kawasan ini sering identik dengan daerah tandus, gersang, dan miskin. Padahal, kawasan karst dapat menjadi potensi wisata dengan panorama, lanskap, dan keindahan ornamen goa, juga sebagai sumber kebutuhan air, serta tersimpan bahan galian dan karbon.
Demikian yang mengemuka dalam pembukaan Konferensi Internasional Asian Trans-Disciplinary Karst, di Fakultas Geografi, Jumat (7/1). Konferensi yang berlangsung 7-10 Januari 2011 ini dihadiri oleh 93 peneliti karst dari 13 negara, meliputi Jerman, Korea, Vietnam, Jepang, dan China.
Dekan Fakultas Geografi, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., mengatakan ilmuwan dunia telah mengembangkan strategi-strategi dan metode baru untuk menjaga keberlanjutan dari fungsi ekosistem karst sebagai kawasan yang terkenal akan keindahan dan keeksotisannya. “Konferensi ini bertujuan untuk memfasilitasi ahli karst atau ilmu lain yang terkait yang memiliki penelitian dan pengalaman tentang karst,” kata Suratman.
Ia menambahkan karst tidak hanya sebagai kawasan pelestarian cagar alam, tetapi juga potensial untuk budidaya pertanian sawah tadah hujan. Tanaman lain yang potensial ditanam, di antaranya padi gogo, ketela, srikaya, sirsak, jambu mete, dan pohon jati. “Kawasan karst bisa dikembangkan untuk ekosistem dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat,” tuturnya.
Namun, ia menyayangkan saat ini laju kerusakan karst berlangsung lebih cepat akibat aktivitas pertambangan, baik secara tradisional maupun modern. Laju penambangan yang kurang terkontrol menyebabkan ekosistem karst mengalami degradasi. Ia mencontohkan di Gunung Kidul saat ini terdapat sekitar 20 kawasan karst yang hilang dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Untuk mengatasi hal tersebut, Suratman mengatakan Fakultas Geografi UGM akan mengembangkan taman geopark untuk pengelolaan kawasan karst sebagai potensi tujuan wisata. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi laju kerusakan karst akibat proses penambangan yang dilakukan secara massif. Menurutnya, kerusakan di kawasan karst akan lebih sulit untuk direhabilitasi dibandingkan dengan kawasan lain.
Salah satu kawasan yang dapat dikembangkan, misalnya kawasan karst Gunung Sewu di Gunung Kidul, Karang Bolong di Kebumen, dan goa-goa di Pacitan, Jawa Timur. “Taman geopark ini bisa digunakan untuk edukasi dan pelestarian ekosistem,” ujarnya.
Peneliti karst UGM, Dr. Eko Purnomo, menyampaikan konsep pengelolaan karst harus diikuti dengan pengembangan potensi ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan itu untuk mendapatkan pekerjaan. Kawasan karst selama ini identik sebagai kawasan masyarakat miskin, seperti Kabupaten Gunung Kidul, Wonogiri, dan Pacitan. Sementara di luar negeri, antara lain Slovenia dan Montenegro, berhasil mengandalkan potensi karst untuk sumber pemasukan devisa negara dari objek wisata.
Eko juga menginformasikan laju kerusakan karst di Indonesia saat ini sekitar lima persen dari total luas kawasan karst yang ada. Namun begitu, keberpihakan kebijakan pembangunan dalam pengelolaan daerah kawasan karst perlu mendapat perhatian pemerintah untuk mengantisipasi laju kerusakan tersebut.
Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan karst merupakan fenomena unik dan menarik untuk diekplorasi para ilmuwan dalam memperkaya pengetahuan. Menurutnya, kawasan karst mampu memberi manfaat dan kemakmuran kehidupan masyarakat. “UGM sangat mendukung perluasan kerja sama dengan dengan semua institusi untuk perkembangan pengetahuan karst yang berhubungan dengan berbagai aspek. Fakultas Geografi bisa menjadi institusi yang aktif terlibat dalam program ini,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)