YOGYAKARTA – Seratus pakar keagamaan dari berbagai negara berencana mengadakan penelitian tentang pengaruh positif dan negatif proses kebangkitan agama terhadap kehidupan sosial politik masyarakat Asia Tenggara. Hasil penelitian ini akan menjadi masukan bagi pemerintah masing-masing negara tersebut untuk mengantisipasi dampak yang berbahaya atas kebangkitan agama ke ruang publik. Demikian yang mengemuka dalam Konferensi Internasional The Resurgence of Religion in Southeast Asia, 1997-2011.
Prof. John L. Esposito, pakar studi Islam dari Georgetown University, Amerika Serikat, mengatakan kebangkitan agama di kawasan Asia Tenggara terjadi cukup luar biasa. Menurutnya, fenomena ini sangat penting untuk dikaji lebih lanjut oleh para ilmuwan karena selama ini belum banyak diperhatikan secara akademis.
Penulis Buku Masa Depan Islam ini mengakui di banyak negara, masing-masing agama memiliki pengaruh yang baik dan buruk bagi masyarakat. Bahkan, agama sering digunakan sebagai kendaraan politik dan menyalurkan niat jahat individu dan kelompok . “Namun tetap saja agama memberikan pengaruh dari sisi yang lebih baik,” kata pengamat islam cukup terkemuka di Amerika ini, Kamis (6/1).
Ia menyebutkan Indonesia sebagai negara Islam terbesar memiliki pengaruh yang cukup luar biasa dalam percaturan hubungan keagamaan dunia. Dengan demikian, kondisi situasi geopolitik indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Ditambah lagi, banyak pangamat Islam terkemuka dunia yang meneliti tentang perkembangan agama islam di negeri ini. “Termasuk dampak kunjungan Obama ke Indonesia, yang memiliki pengaruh besar terhadap pandangan dunia untuk Indonesia, mengingat Obama memiliki hubungan masa lalu yang erat di Indonesia,” ujarnya.
Kendati demikian, Esposito sependapat bahwa media juga memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kebangkitan agama terhadap kehidupan masyarakat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia tenggara.
International Representative ICRS-Yogyakarta, Dr. Bernard Adeney-Risakotta, mengatakan proses kebangkitan agama di masing-masing negara di Asia Tenggara berbeda satu dengan yang lain. Namun, keseluruhan perkembangan tersebut memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. “Pengalaman ini bisa memberikan pemahaman yang baru bagi masing-masing negara untuk bisa belajar satu sama lain,” tambahnya.
Robert W. Hefner dari Boston University menuturkan perkembangan kebangkitan agama tidak hanya terjadi di kawasan Asia tenggara, tetapi juga di China. Bahkan, di negara tirai bambu tersebut, kebangkitan agama cukup menonjol. “Kita mencoba meneliti proses yang sedang terjadi tanpa ikut mencampuri,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan alasan pelaksanaan konferensi yang berlangsung di Yogyakarta ini, dengan tegas Bernard mengatakan Indonesia merupakan negara yang paling beragama di dunia. “Dari hasil survei, Indonesia merupakan negara yang paling beragama di dunia di mana 99% penduduknya merupakan orang yang beragama,” katanya.
Hefner mengakui lembaga ICRS (Indonesian Consorsium for Religious Studies) sebagai pelaksana kegiatan merupakan lembaga studi agama yang paling terkenal di dunia internasional. Tidak hanya di Asia, juga di seluruh Eropa dan Amerika. Bagi yang akan melakukan studi tentang keagamaan dan tantangan agama di zaman modern, mereka akan merujuk ke lembaga yang didirikan oleh tiga universitas, yakni Universitas Gadjah Mada, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) ini. “Lembaga ini sudah diakui dunia internasional,” ujarnya.
Direktur ICRS, Dr. Siti Syamsiatun, menyampaikan konferensi ini dilaksanakan setiap tahun sebagai proyek penelitian para akademisi dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Belanda, Amerika, dan Australia, yang hasilnya akan didokumentasikan dalam bentuk buku. (Humas UGM/Gusti Grehenson)