YOGYAKARTA – Kemendiknas akan memasukkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ke dalam lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal mulai tahun 2011. Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development/ESD) di Indonesia sudah mulai dilaksanakan melalui program sekolah sehat dan sekolah hijau. Model pendidikan seperti ini menjadi rujukan bagi negara lain, terutama di kawasan Asia Pasifik.
“Konsep ESD harus dituangkan sejak dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Semua lini harus dikenalkan tentang pendidikan lingkungan,” kata Mendiknas, Prof. Dr. Mohammad Nuh, saat membuka kegiatan Asia- Pacific Regional Center of Expertise (RCE) Conference di Sekolah Pascasarjana, Rabu (12/1).
Dalam sambutannya, Mohammad Nuh mengatakan cara manusia dalam mengelola sumber daya alam di bumi yang berjumlah terbatas, seperti air, tanah, dan energi fosil, telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan bagi kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Pertambahan jumlah penduduk dan gaya hidup modern memberikan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Untuk itu, diperlukan pendidikan sebagai sarana transfer ilmu dan kebijaksanaan antar generasi. “Mengimplementasikan pendidikan yang harmonis dengan alam. Indonesia mengambil kepemimpinan untuk pendidikan penmbangunan berkeberlanjutan,” ujarnya.
Mohammad Nuh menambahkan sekolah yang ramah lingkungan akan memiliki karakter kuat untuk menumbuhkan nilai-nilai peduli lingkungan. “Lewat pendidikan karakter, memupuk, dan memelihara nilai-nilai kejujuran,” katanya.
Wakil Mendiknas, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D., menjelaskan pendidikan pembangunan berkelanjutan setidaknya memenuhi tiga pilar utama, yakni ekonomi, ekologi/lingkungan, dan sosial/budaya. Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Kemendiknas berkomitmen untuk menanamkan nilai-nilai sustainable development pada semua jenjang pendidikan formal, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, pendidikan informal dan non-formal. “Pendidikan karakter ramah lingkungan di lembaga pendidikan bisa ditularkan ke keluarga. Di tingkat sekolah, disampaikan dalam setiap mata pelajaran, sedangkan di PT, ada riset terapan tentang teknologi hijau dan mengajak masyarakat melaksanakan konsep pendidikan ramah lingkungan,” tuturnya.
Direktur Kantor UNESCO Jakarta, Hubert J. Gijzen, mengakui dalam empat tahun sebelum batas akhir dekade ESD 2005-2015, perkembangan yang dicapai di berbagai negara tidak sama. “Yang terpenting berbagi pengalaman karena kisah sukses pendidikan tentang pendidikan berkelanjutan di satu negara berbeda dengan negara lain. Bila ada wadah untuk saling bertukar pengalaman, kisah sukses ini bisa ditiru,” katanya.
Konferensi RCE yang mendatangkan sekitar 200 ahli dari 20 negara diharapkan dapat mempercepat langkah nyata dalam pembangunan berkelanjutan. “Konferensi ini membahas langkah strategis yang melibatkan lembaga pendidikan dan komunitas. Paling efektif memang mengubah paradigma lewat pendidikan dan konsep sekolah hijau adalah contoh yang sangat bagus,” jelasnya.
Koordinator ESD Indonesia dan Ketua Penyelenggara Konferensi, Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, M.Sc., Apt., mengatakan perubahan paradigma pendidikan memang sudah saatnya dilakukan. “Dulu kita diajarkan bagaimana mengeksploitasi alam. Ini yang salah. Sekarang kita harus mengajarkan bagaimana memanfaatkan alam sebaik-baiknya, mengambil, tapi juga menjaga kelestariannya,” ujarnya.
Selama empat hari, sekitar 50 makalah berisi pengalaman dalam ESD dipaparkan. Selain itu, akan digelar enam diskusi panel dan tiga pidato kunci, masing-masing dari UNESCO, UNU-IAS, dan Kemendiknas. Konferensi berlangsung di UGM yang saat ini menjadi pusat RCE di Indonesia.
Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 80 RCE, 31 di antaranya berada di kawasan Asia Pasifik. Di akhir tahun 2015, diharapkan jumlah RCE di seluruh dunia mencapai 200. “Dengan makin banyaknya RCE, diharapkan makin banyak juga ahli yang melakukan upaya nyata pembangunan berkelanjutan,” kata Hubert. (Humas UGM/Gusti Grehenson)