Kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG yang telah diberlakukan pemerintah baru-baru ini membawa dampak bagi masyarakat kelas bawah, tak terkecuali petani tembakau dan nelayan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Para petani tembakau tidak dapat lagi mengeringkan tembakau hasil panennya menggunakan tungku berbahan bakar minyak tanah seperti yang selama ini dilakukan karena harga minyak tanah non subsidi yang semakin melambung. Begitu juga yang dialami para nelayan di NTB yang tidak bisa lagi menggunakan petromaks berbahan minyak tanah untuk melaut di malam hari.
Kondisi tersebut mendorong Pusat Studi Energi (PSE) UGM mengembangkan tungku berbahan bakar bioetanol dan petromaks berbahan bakar premium. Kepala Pusat Studi Energi, Prof. Dr. Jumina, menyebutkan tungku bioetanol ini dikembangkan untuk menjawab keperluan petani tembakau khususnya di NTB. Tungku bioetanol ini bisa digunakan untuk mengeringkan tembakau seperti halnya tungku berbahan bakar minyak tanah. Tungku ini memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan tungku minyak tanah, seperti harga bahan bakarnya lebih murah dibanding minyak tanah. “Etanol kadar 70% seperti spritus harganya Rp. 7.000,-/liter sementara minyak tanah harganya mencapai Rp. 10.000,-/liternya,†jelasnya baru-baru ini.
Dari segi konsumsi bahan bakar, dikatakan Jumina, tungku bioetanol ini lebih hemat sekitar 2/3 kali konsumsi bahan bakar tungku minyak tanah. Disamping itu tungku bioetanol ini lebih ramah lingkungan karena tingkat emisi gas CO2 lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan tungku minyak tanah.
Selain mengembangkan tungku bioetanol, PSE UGM juga mengembangkan petromaks berbahan bakar premium. Petromak jenis ini diharapkan mampu membantu mengatasi permasalahan nelayan di NTB yang dipusingkan dengan mahal dan langkanya minyak tanah. Dengan petromaks berbahan premium ini bisa menghemat biaya pembelian bahan bakar. Seperti diketahui harga 1 liter premium Rp. 4.500,-, sementara harga 1 liter minyak tanah jauh lebih mahal yaitu Rp. 10.000,-.
Disamping lebih murah, petromaks berbahan premium hanya menghabiskan konsumsi bahan bakar lebih sedikit dibanding minyak tanah. Sebagai perbandingan, 1 liter minyak tanah bisa digunakan selama 4 jam untuk menyalakan petromaks minyak tanah. Sedangkan 1 liter premium dapat digunakan selama 7 jam untuk menyalakan petromaks berbahan bakar premium. “Petromaks berbahan bakar premium ini jauh lebih efisien daripada petromaks berbahan bakar minyak tanah,†urai Jumina.
Lebih lanjut disampaikan Jumina cara kerja petromaks premium ini sama dengan petromaks pada umumnya. Begitu pun dengan bentuk fisiknya, hanya saja pipa kapiler yang digunakan ukuranya jauh lebih kecil dibanding dengan petromaks berbahan bakar minyak. “Petromaks premium ini desain luarnya sama dengan petromaks minyak tanah pada umumnya. Bedanya pipa kapiler yang digunakan ukurannya lebih kecil, sekitar setengah dari pipa kapiler yang biasa digunakan. Apabila menggunakan pipa yang biasa akan rawan meledak karena kapasitas bensin lebih panas dibanding minyak tanah,†paparnya.
Tidak hanya mengembangkan tungku bioetanol dan petromaks premium, PSE UGM juga telah berhasil mengembangkan kompor bioetanol. Kompor ini menggunakan bioetanol kadar 70%, sebagai contoh sepiritus, sebagai bahan bakarnya. Alat ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.
Ditambahkan Jumina, kompor bioetanol apabila digabungkan dengan pengembangan industri rumah tangga, bioetanol berbahan baku singkong atau limbah buah-buahan seperti jambu mete dan salak pondoh, maka penggunaan kompor bioetanol dapat menopang konsep Keluarga Mandiri energi yang juga digalakkan oleh PSE UGM.
Ketiga inovasi produk tersebut akan diproduksi secara masal oleh PSE UGM bekerjasama dengan PT. Bionas Yogyakarta. Untuk 1 unit tungku bioetanol dipasarkan seharga Rp. 900.000,-, sedangkan 1 unit kompor bioetanol seharga Rp. 375.000,- dan 1 unit petromaks premium dijual Rp. 350.000,-. (Humas UGM/Ika)