YOGYAKARTA-Inkonsistensi pengamalan Pancasila dewasa ini semakin menguat. Globalisasi dan sentralisasi turut mendorong terjadinya inkonsistensi tersebut. Salah satu bentuk inkonsistensi dapat dilihat dari menguatnya demokrasi etnisitas di beberapa daerah di tanah air. “Kalau kemudian demokrasi etnisitas terus terjadi, maka seolah-olah daerah atau etnis saling berlomba untuk kepentingannya sendiri dan mengesampingkan lainnya. Itu yang rawan dan Pancasila tidak mengajarkan hal seperti itu,†ujar sosiolog, Prof. Dr. Sunyoto Usman, usai Diskusi ‘Reinterpretasi dan Sosialisasi Pancasila dalam Perspektif Sosial Politik’ di Pusat Studi Pancasila UGM, Kamis (20/1).
Pancasila, menurut Sunyoto, mengajarkan adanya persatuan dan keragaman tetap dalam bingkai ketuhanan. Pada masa pemerintahan sebelumnya, seperti era Sukarno dan Suharto, format Pancasila diimplementasikan secara berbeda. Di era Sukarno, ada istilah nation and character building dan konsep gotong-royong. Sementara itu, di era Suharto, Pancasila diwujudkan untuk stabilitas. Peran negara sebagai penguasa sangat dominan untuk mengakomodasi berbagai keragaman, nasionalisme, dan kerukunan. “Di masa orba, misalnya, ada indoktrinasi PNS tentang Pancasila dan sebagainya,†ujarnya.
Dalam pandangan Sunyoto Usman, penempatan konsep Pancasila saat ini juga masih belum jelas. Era keterbukaan informasi, termasuk di dalamnya maraknya pemanfaatan dunia maya (cyber), kian mengaburkan konsep Pancasila.
Melengkapi pernyataan Sunyoto Usman, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Drs. Sindung Tjahyadi, M.Hum., mencontohkan inkonsistensi pengamalan Pancasila di bangku perguruan tinggi adalah berupa masih terus dipakainya berbagai teori dan metodologi pengajaran dari dulu hingga saat ini. Padahal, perubahan dan pembaharuan berbagai teori pengajaran sangat terbuka. “Misalnya di bangku perguruan tinggi, teori dan metode yang sudah usang masih saja dipakai. Itu contoh kecil inkonsistensi Pancasila,†tambah Sindung.
Di sisi lain, kajian tentang Pancasila sejauh ini juga belum dilakukan secara lebih empiris. Padahal, kajian Pancasila dengan melibatkan bidang ilmu lain, seperti Antropologi atau Sosiologi, terbuka untuk dilakukan.
Sindung menilai internalisasi Pancasila, khususnya kepada generasi muda, menjadi tantangan untuk segera dilakukan. Penerapan P4 seperti pada zaman orde baru menurutnya sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan saat ini. Pusat Studi Pancasila masih melakukan penelitian dan kajian agar Pancasila dapat terinternalisasi lebih baik kepada masyarakat. Beberapa program yang telah dicoba dilakukan ialah training kader bangsa (TKB) bagi siswa SMA. “Kan tidak mungkin kalau ada lagi “pemaksaan†konsep P4 seperti zaman Orba dulu,†kata dosen Fakultas Filsafat UGM tersebut. (Humas UGM/Satria AN)