YOGYAKARTA – Jogja Heritage Society mengusulkan daerah yang mengalami kerusakan akibat erupsi Merapi untuk dijadikan taman pendidikan Merapi. Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan proses pendidikan bagi masyarakat tentang data kerusakan erupsi Merapi. “Kita siapkan konsep tata ruang kawasan Merapi sebagai taman pembelajaran sebagai kawasan luar biasa untuk belajar bagaimana kerusakan yang ditimbukan erupsi Merapi,” kata Ketua Jogja Heritage Yogyakarta, Dr. Ir. Laretna T. Adhisakti, yang ditemui di sela-sela kegiatan Workshop Indonesia-Malaysia Heritage Tourism: Preservation and Conservation, di PAU UGM, Kamis (20/1).
Menurut Sita, demikian ia akrab dipanggil, artefak-artefak berupa kerusakan tersebut perlu diselamatkan dan dikumpulkan untuk dijadikan peninggalan yang dapat dipelajari dan dikenang di kemudian hari. “Kalau daerah itu sudah hijau, orang sudah lupa bagaimana kerusakan sebelumnya” ujarnya.
Area taman pendidikan Merapi meliputi museum tertutup, museum komunitas, baik indoor maupun outdoor. Semua artefak akan dikumpulkan dan ditempatkan di museum-museum kecil yang didirikan di setiap dusun yang pernah mengalami kerusakan. “Tidak ubahnya dengan museum gempa di Kobe Jepang,” kata arsitek UGM ini.
Sita menjelaskan setiap dusun yang berada di sekitar lereng Merapi akan dibangun sejenis museum kecil yang dikelola masyarakat setempat. Selain sebagai objek wisata, museum alam dapat menambah penghasilan ekonomi masyarakat sekitar. “Daerah dusun yang rusak dan tidak layak huni dijadikan museum, misalnya spesifik daerah alur awan panas, aliran lahar, atau khusus spesifik pada bebatuan Merapi,” katanya.
Konsep ini tengah digodok oleh para pemerhati heritage di DIY bekerja sama dengan para peneliti dan pemangku kepentingan. Selanjutnya, konsep akan diajukan kepada Pemerintah Provinsi DIY. “Rencananya, kita akan mengajukan konsep ini ke Gubernur,” tambahnya.
Saat menyampaikan presentasi dalam Workshop Heritage Indonesia-Malaysia, Sita menegaskan peran masyarakat sangat penting untuk upaya pelestarian pusaka (heritage), baik pusaka alam, pusaka budaya, maupun pusaka rakyat.
Ia menambahkan kini tengah dikembangkan desain arsitektur pusaka oleh para arsitek terhadap bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah. Namun demikian, para arsitek tidak diperkenankan mengubah model desain bangunan.
Sementara itu, Widiastuti, S.S., M.Hum. dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta menyampaikan di Kota Yogyakarta terdapat 537 bangunan pusaka. Seluruhnya merupakan bangunan milik pribadi. “Hampir 90 persen semuanya ditempati,” ujarnya.
Untuk memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pemilik yang telah merawat tersebut, Pemkot Yogyakarta memberikan insentif untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). “Kita baru bisa memberikan insentif PBB. Untuk subsidi biaya pemeliharaan belum dilaksanakan karena keterbatasan dana,” jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)