YOGYAKARTA – Perempuan belum menjadi bagian dari proses penulisan sejarah di Indonesia. Padahal, sejarah yang erat berkaitan dengan persoalan kemanusiaan tidak terlepas dari pihak perempuan yang selalu menjadi korban. Oleh karena itu, suara perempuan sebagai bagian dari perumusan sejarah sangat penting untuk ditulis dan diangkat dalam sejarah lisan dan tertulis.
“Kaum perempuan menjadi tidak diberi tempat dalam ruang sejarah sehingga ‘seakan-akan’ tidak mempunyai sejarah. Padahal, ketidakhadiran perempuan di dalam sejarah bisa berakibat merusak sejarah itu sendiri,†kata pendiri Komnas Perempuan dan aktivis United Nation (UN) Women, organisasi PBB yang mengurusi hak-hak perempuan, Ita F. Nadia, dalam orasi ilmiah ‘Sumbangan Ilmu Sejarah untuk Kemanusiaan-Refleksi Pekerja Kemanusiaan’, di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Sabtu (22/1).
Menurut alumni sejarah UGM ini, pengalaman perempuan sebagai korban kekerasan merupakan upaya untuk menyingkap struktur ketidakadilan kekuasaan dan politik kekerasan, yang telah mengakibatkan jatuhnya beribu-ribu korban. Pengalaman kekerasan para perempuan korban Tragedi ’65, yang merupakan kisah traumatik dan bersifat sangat pribadi dengan renungan-renungan spiritual, akan dapat menjadi media untuk memaknai pengalaman korban, baik bagi masyarakat maupun korban itu sendiri. “Pada satu pihak, akan menjadi cerita yang dapat memulihkan martabat kemanusiaan mereka, dan pada pihak lain, akan mengakhiri dan tidak akan lagi menimbulkan penghinaan dan diskriminasi baru yang berkembang di tengah masyarakat,†kata penulis buku ‘Suara Perempuan Korban Tragedi ’65’ ini.
Berdasarkan hasil penelitiannya, dalam rangkaian kekerasan terhadap perempuan sejak zaman Jepang, peristiwa G30 S 1965, Timor Timur, Aceh, Papua, dan Mei 1998, ternyata tubuh perempuan menjadi sasaran “antara†dari serangkaian kejahatan yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Pada akhirnya, hal itu akan menimbulkan konflik baru yang tidak akan pernah berhenti. “Kekerasan terhadap perempuan di dalam situasi konflik bukan sebagai dampak, tetapi merupakan kekerasan sistemik berdimensi gender,†ujarnya.
Penulisan pengalaman perempuan-perempuan korban ini merupakan upaya untuk menghentikan “politik pembungkaman†yang lazim digunakan oleh para pelaku kekerasan sebagai alat teror agar korban dan masyarakat dicekam rasa takut. Sejarah lisan menjadi salah satu cara untuk memecah kebisuan dan menciptakan ruang sejarah. “Tuturan pengalaman korban merupakan elemen penting untuk penyusunan kembali masa lalu yang tidak adil,†katanya.
Bagi perempuan korban kekerasan, metode sejarah lisan menjadi penting untuk membawa perempuan masuk ke dalam ruang sejarah dan menjadikan pengalaman-pengalaman mereka sebagai bagian dari catatan (sejarah) tertulis. Untuk selanjutnya, hal itu menjadi jalan dalam melakukan revisi sejarah dan mengubah penggambaran peristiwa yang sebelumnya pernah ditulis atau disiarkan secara tidak adil serta tidak memperhitungkan pengalaman perempuan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)