YOGYAKARTA-Dengan adanya kenaikan harga pangan domestik dan dunia, pemerintah telah melakukan kebijakan pembebasan bea masuk atas 57 pos tarif komoditas pangan, bahan baku pakan ternak dan pupuk selama satu tahun. Kebijakan ini mengoreksi kebijakan sebelumnya, yaitu penetapan tarif terhadap 2165 pos tarif minimal 5%.
Menurut Kepala Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD), Prof. Dr. Ir. Masyhuri, kebijakan tersebut lebih mencerminkan kepanikan pemerintah terhadap gejolak sosial ekonomi dan politik. “Harga pangan yang tinggi akan memicu inflasi dan menurunkan pendapatan riil masyarakat nonpetani, tetapi bagi petani produsen pangan, kenaikan harga pangan akan meningkatkan pendapatan petani,†kata Masyhuri dalam diskusi di kantor PSPD UGM, Kamis (27/1).
Masyhuri menambahkan jika kebijakan itu hanya bertujuan untuk menurunkan harga, penurunan tarif sampai nol persen akan mengurangi laju kenaikan harga. Akan tetapi, penurunan tarif tersebut tidak akan melindungi petani. Petani yang sudah miskin tidak mempunyai peluang untuk meningkatkan pendapatannya. “Dengan mahalnya harga produk pertanian pangan sebenarnya merupakan momentum untuk meningkatkan pendapatan petani, tapi momentum itu justru disia-siakan oleh pemerintah,†terangnya.
Penurunan tarif pada komoditas beras, kedelai, jagung, gula, dan hasil pertanian lain akan meningkatkan impor produk tersebut dan menurunkan harga produk dari harga internasional. Hal ini akan berakibat pada tidak meningkatnya pendapatan petani. Jika harga dunia tidak naik, justru akan menurunkan harga produk pertanian dan menurunkan pendapatan petani. Padahal, kenaikan harga produk pertanian ini sudah ditunggu-tunggu petani. “Kenapa pemerintah tidak memperhatikan nasib petani?†tanya Masyhuri.
Selain itu, komoditas terigu yang tidak diproduksi domestik pun seharusnya tidak dibebaskan karena akan memicu ketergantungan impor yang semakin besar. Harga yang murah akan meningkatkan permintaan terigu dalam negeri dan meningkatkan impor yang sudah 100% impor. “Ini akan menguntungkan petani gandum luar negeri dan importir terigu serta industri terigu. Seharusnya harga terigu tetap sama-sama mahal atau dibiarkan tetap mahal agar industri pangan dan konsumen tidak terlalu menggantungkan pangan dari terigu,†jelas dosen Jurusan Agrobisnis Fakultas Pertanian itu.
Meskipun disenangi petani, mahalnya harga pangan akan memberatkan konsumen. Menurut Masyhuri, seharusnya kebijakan pemerintah adalah mengurangi beban konsumen kecil tanpa harus mengorbankan petani. Bagaimana kebijakan yang pro petani dan konsumen kecil, itulah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Tidak semua konsumen harus dilindungi. Hanya konsumen miskin saja yang harus dilindungi, sedangkan konsumen berpenghasilan menengah ke atas tidak seharusnya menerima perlindungan, lebih-lebih dengan mengorbankan petani.
Dalam kesempatan itu, Masyhuri mengemukakan beberapa usulan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, tetap memberlakukan tarif produk pertanian. Kebijakan ini selain melindungi petani juga akan terkumpul dana untuk memperkuat sektor pertanian. Kedua, manajemen stok pangan yang baik di tingkat rumah tangga, kelompok tani, regional, hingga nasional. “Kalau jangka pendek, bisa dengan membantu konsumen kecil dengan operasi pasar melalui pangan untuk masyarakat miskin atau raskin yang diperbaiki dan sebagainya,†pungkasnya. (Humas UGM/Satria AN)