Menjadi wirausaha (entrepreneur) mungkin sudah menjadi pilihan hidup Fajar Handika. Meski sempat terpuruk beberapa kali dalam usahanya, tidak menyurutkan langkah mahasiswa Magister Manajemen UGM ini untuk terus menekuni dunia wirausaha. Tidak sia-sia, usaha terakhirnya di bidang kuliner dengan membuka FoodFezt berhasil mengantar pria ini menjadi Terbaik II dalam Kompetisi Wirausaha Mandiri 2010 kategori Boga Kelompok Pascasarjana.
Penghargaan ini membuatnya semakin mantap dalam berwirausaha, juga semakin menguatkan prinsip yang selama ini ia pegang bahwa usaha merupakan proses, bukan datang dengan sendirinya. Dalam membangun usaha, ia sempat mengalami jatuh bangun. Andi, begitu panggilan akrabnya, pernah bekerja di warung internet. Namun, karena merasa tidak betah, pekerjaan itu ditinggalkannya. Andi pun lantas mencoba membuka kafe. Karena tidak membawa banyak keuntungan, ia juga akhirnya menutup usaha ini. Sempat berhenti sejenak, Andi kemudian mencoba bisnis angkringan. Lagi-lagi usaha ini mengalami nasib yang sama.
Di tengah kegalauan, Andi mulai berpikir tentang usaha yang mungkin dapat berkembang dan memberikan hasil yang lumayan. Hingga pada suatu ketika, ia teringat hobinya makan bersama dengan teman-temannya. Situasi makan di food court pun terbayang di benaknya. “Jadi, sesungguhnya FoodFezt yang kemudian saya bangun ini hanyalah menyempurnakan apa yang ada di food court selama ini, bagaimana menyederhanakan agar costumer tidak ribet dalam memesan dan membayar makanan. Nah, di FoodFezt ini cukup simpel, customer duduk dan menunggu menu yang diorder karena telah tersedia sistem pembagian yang lebih baik,” terang Andi, Jumat (28/1) di Ruang Fortakgama.
Dijelaskannya bahwa dengan FoodFezt Integrated Kitchen System (FIKS), waiter dapat terhubung ke dapur-dapur secara nirkabel dengan memanfaatkan alat PDA. Dengan sistem semacam ini, manajer dimungkinkan untuk memonitor aktivitas yang terjadi. “Dengan demikian, dari jumlah pengunjung, makanan apa yang dipesan, dan berapa lama pesanan itu sampai secara real time dari mana pun terpantau selama terkoneksi dengan internet,” jelasnya.
Dengan sistem semacam ini, terpantau tak kurang sejumlah 400 hingga 500 pengunjung mendatangi resto FoodFezt tiap harinya. Mereka sebagian besar berasal dari kalangan menengah, dengan rentang usia di bawah 30 tahun. “Namun, berkat pengembangan menu, para pengunjung pun kini bervariasi dari mahasiswa, karyawan, hingga segmen keluarga,” lanjut Andi.
Ada bermacam menu yang ditawarkan. Tercatat lebih dari 100 macam menu tersaji di FoodFezt, mulai dari mi hitam sampai dengan nasi kebuli, dari jamur portabello hingga sate kambing buntel, makanan India, Timur Tengah, Eropa, dan Jawa, juga menu vegetarian dan berbagai variasi lainnya.
Andi mengungkapkan konsep FoodFezt sesungguhnya hanya mengumpulkan para pengusaha makanan dalam satu tempat. Tidak mengherankan bila FoodFezt yang beralamat di Pandega Karya, Jalan kaliurang km 5,5 Yogyakarta ini menyediakan 11 dapur/ tenant. “Masing-masing tenant ada satu pengusaha makanan dan masing-masing tenant memiliki 3 pekerja sehingga total karyawan yang dimiliki mencapai sekitar 80 orang. Tentu saja, ini menjadi usaha yang berhasil menyerap lapangan pekerjaan,” ujar General Manager FoodFezt ini.
Meski hanya mengambil 20% keuntungan dari para pemilik usaha makanan, omzet FoodFezt milik Andi cukup menggiurkan, yakni mencapai 400 juta rupiah/ bulan karena di samping layanan langsung, FoodFezt melayani pula pesana via telepon dan Yahoo Messenger/GTalk dengan id: foodfezt. Foodfezt dalam pelayananannya juga mengurangi penggunaan kertas dan tidak menggunakan styrofoam serta tas plastik. “Sebagai gantinya, kami menggunakan biodegradable packaging dan paperbag yang bisa terurai secara natural,” tambah Andi.
Untuk menjaga kualitas, FoodFezt secara berkala mengadakan evaluasi terhadap berbagai menu. Hal ini dilakukan agar cita rasa tetap dapat bertahan. “Ya, memang kita mendatangkan foodtest. Evaluasi ini menguji apakah rasanya tetap sama atau sudah berubah,” terangnya.
Meski belum merasa puas, Andi kini sedikit lega. Ia mengakui bahwa bakat sebagai pengusaha sesungguhnya telah muncul sejak kecil. Sejak menjalani masa anak-anak di Kota Comal, Pemalang, Jawa tengah, ia sudah memberanikan diri berdagang mercon. Selepas itu, Andi melanjutkan pendidikan di Comal dan SMA Negeri 6 Yogyakarta pada tahun 1996. “Ke depan memang ingin mengembangkan sayap di daerah Seturan, tapi hingga kini masih dalam taraf negosiasi,” tambah Andi sembari tersenyum.
Ibnu Wakhid, S.T.P., M.T. selaku pembina Center Entrepreneurship Development (CED) UGM merasa bersyukur atas kegigihan Fajar Handika. Ia turut merasa bangga atas prestasi yang diraih Andi. Prestasi ini merupakan bukti UGM selalu menjadi langganan berprestasi di ajang ini. “Meskipun tidak seramai tahun lalu, namun dengan raihan ini membuktikan UGM selalu meraih prestasi di ajang kompetisi Wirausaha Mandiri,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)