Sekitar 2 milyar orang di dunia diduga telah terinfeksi dan 350 juta menderita infeksi hepatitis B kronik. Hepatitis B merupakan penyebab kematian nomor 10 di dunia dan telah menjadi masalah kesehatan global yang serius.
Infeksi hepatitis B menyebabkan 500 ribu – 1, 2 juta kematian per tahun akibat Infeksi hepatitis kronik yang berlanjut menjadi sirosis hati dan/ atau kanker hati. Akibat kanker hati ini, sekurangnya 320 ribu mengalami kematian tiap tahunnya. Di Asia dan Afrika infeksi hepatitis B didapat saat lahir, sekitar 70% dari populasi dewasa HBsAg-nya positif.
Menurut Prof dr Hj Siti Nurdjanah MKes SpPD-KGEH, Indonesia memiliki endemitas HBV sedang sampai tinggi. Prevalensi HBV di Indonesia bervariasi antara 2,5 – 20 % dan menempati urutan ke 3 di Asia yaitu berkisar 11,6 %.
“Di Jogjakarta data PMI menyebutkan 805 orang yang diskrining untuk pendonor darah, 2,2% HBsAg positif. Di Mataram sebanyak 3000 sampel darah yang diskrining di PMI ternyata sebanyak 6,7% HBsAgnya positif,†ujarnya, Senin (5/11) di Balai Senat UGM.
Dosen Fakultas Kedokteran UGM mengatakan hal itu, saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar dengan mengucap pidato “Hepatitis Virus B: Masalah Kesehatan Global Yang Seriusâ€.
Istri Dr H Marcham Darokah MA, ibu dari Dr Akhada Maulana, dr Fitriana dan Fatdina SPs ini menjelaskan perjalanan alamiah infeksi hepatitis B Kronik ditentukan dari interaksi antara replikasi virus dan respon imunitas pejamu. Interaksi antara virus hepatitis B dengan respons imun tubuh terhadap VHB sangat besar perannya dalam mementukan derajat keparahan hepatitis.
“Faktor lainnya yang berperanan adalah jenis kelamin laki-laki, konsumsi alkohol, dan adanya infeksi penyerta dengan virus hepatitis tipe lain, hepatitis A, hepatitis C, hepatitis D, dan human immuno deficiency (HIV). Selanjutnya akan berkembang menjadi sirosis hati, sekitar 2% sampai 3% per tahunnya dan sebagian berlanjut kanker hati,†jelas perempuan kelahiran Solo, 12 Desember 1945 ini.
Di bagian lain, Ketua Program Penididikan Dokter Spesialis I Penyakit Dalam ini menyatakan sampai saat ini pengobatan untuk hepatitis B kronik belum bisa untuk mengeradikasi virus. Baik golongan interferon maupun golongan nukleosida harganya mahal. Untuk golongan interferon banyak sekali efek sampingnya, sedang golongan nuklosida pada penggunaan jangka panjang juga timbul masalah. Selain terjadinya resistensi obat, juga bila obat dihentikan beberapa lama kemudian setelah terjadinya respons pengobatan ada kemungkinan virus akan menjadi aktif kembali sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi obat tersebut seumur hidup.
Selain obat-obat yang telah direkomendasikan sebelumnya yang mempunyai efek anti virus, di masyarakat kita sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu telah menggunakan herbal (jamu-jamuan) untuk “penyakit kuning†istilah untuk hepatitis yang bergejala. Menurut Ketua Gabungan PPHI-PGI-PEGI Cabang Yogyakarta ini, herbal yang digunakan sebagai obat dibidang medis diistilahkan fitofarmaka. Ada beberapa herbal yang digunakan untuk mengobati hepatitis ini, diantaranya adalah temulawak (Curcuma Xanthoriza).
“Herbal ini sudah dikenal sejak permulaan abad 16. Popularitasnya terus meningkat seiring dengan manfaat serta hasil penelitian khasiatnya. Sejak 40 tahun terakhir, berbagai penelitian dilakukan untuk mengungkap rahasia temulawak. Selain penyakit kuning juga untuk pegal linu. Untuk penyakit sendi sebagai anti inflamasi. Khasiat temulawak terutama disebabkan oleh dua kelompok kandungan senyawa berwarna kuning golongan kurkuminoid dan minyak atsiri. Kedua zat ini mempunyai kemampuan mempercepat regenerasi sel-sel hati yang mengalami kerusakan akibat pengaruh racun kimia,†tandas Kepala Subbagian Gastroenterologi & Biostatistik Units FK UGM ini. (Humas UGM).