YOGYAKARTA – Bencana dan krisis adalah permasalahan yang sering dialami megacity di berbagai belahan dunia, termasuk Jakarta. Kondisi itu diperparah dengan peningkatan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, proses urbanisasi yang demikian cepat tanpa adanya perencanaan yang baik, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya. Permasalahan tersebut akan menjadi permasalahan sosial jika tidak segera ditanggulangi. Oleh karena itu, koordinasi dan sharing best practise yang baik antarpemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengurangi risiko yang ditimbulkan.
Demikian yang mengemuka dalam Workshop “Risk, Crisis Prevention, and Disaster Management in Megacities†yang bertempat di Kantor BPPT, Jalan M.H. Thamrin 8, Jakarta, Senin (7/2) lalu. Workshop merupakan hasil kerja sama Fakultas Geografi UGM, BPPT, dan Universitas Koeln Jerman.
Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT, Drs. Bambang Marwanta, M.T., mengutarakan sudah saatnya megacity, seperti Jakarta, secara terpadu melakukan kajian penilaian risiko, juga manajemen krisis dan bencana, dengan mempertimbangkan tidak hanya potensi ancaman bahaya alam, tetapi juga bahaya akibat kegagalan teknologi dan perbuatan manusia.
Dr. Muh Aris Marfai dari Program S-2 Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) mengatakan pentingnya strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk kota pesisir dan megacity, seperti Jakarta. “Multi-use purposes kawasan pesisir dengan kompleksitas permasalahannya secara signifikan mempengaruhi tingkat vulnerability dari kawasan ini terhadap perubahan iklim global. Dengan meningkatnya kejadian banjir rob, banjir sungai, dan cuaca ekstrim, maka diperlukan rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana yang dapat diformulasikan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat,†katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Gerrit Peters dari Univ. of Cologne Germany mengemukakan beberapa pengalaman riset yang dilakukannya terkait dengan kemampuan masyarakat Jakarta dalam melakukan adaptasi dan strategi pengurangan risiko bencana banjir, salah satunya melalui metode participatory urban appraisal. “Saya dan dan tim dari Program S-2 MPPDAS UGM kini tengah berada di kawasan Muara Angke, Kampung Melayu, guna melakukan penjaringan selama dua bulan untuk mendapatkan data-data terkait dengan kemampuan masyarakat untuk melakukan adaptasi dan strategi pengurangan risiko bencana,†tuturnya.
Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup dari CIDES (Center Indonesia for Development and Studies), M. Rudi Wahyono, menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam penanganan kebencanaan.
Dalam rilisnya yang dikirim Rabu (9/2), Aris Marfai mengatakan workshop tersebut juga merupakan bagian dari kegiatan riset kerja sama Fakultas Geografi UGM dan University of Koeln tentang potensi bencana dan permasalahan di megacity dengan studi kasus Jakarta. “Sharing konsep dan pengetahuan praktis terkait dengan manajemen krisis dan bencana serta memformulasikan langkah-langkah konkret yang harus dilakukan di masa mendatang,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)