Dalam kajian Harvard Kennedy School dan Rajawali Foundation dipaparkan bahwa orde reformasi telah memberikan peran besar terhadap perubahan dalam tatanan perekonomian, politik, sosial, dan budaya. Meskipun pada awalnya sulit membayangkan terjadi perubahan karena sistem otoriter dengan dukungan militer, hal itu terbantahkan dengan lahirnya proses reformasi. “Kekuasaan militer yang dibayangkan sulit berpindah ke sipil. Namun, ternyata bisa terjadi,” ujar Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A. di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Rabu (9/2).
Membedah buku ‘Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan’, Muhadjir mengatakan buku ini membahas terjadinya transformasi politik dan pemerintahan, terutama dengan munculnya proses demokrasi dan desentralisasi. Dalam buku ini diakui telah terjadi kemajuan ekonomi pascareformasi meskipun kemajuan yang dicapai masih dinilai lamban dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. “Nampaknya tidak terjadinya transformasi secara kelembagaan menjadi kunci persoalan,” ujar Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM ini.
Buku ini meletakkan kemajuan ekonomi sebagai tujuan dan transformasi sosial (kelembagaan) sebagai instrumen. Namun sayang, tidak ada analisis untuk pencapaian tujuan-tujuan sosial, misalnya POLI dan MDGs. “Sehingga sulit sekali menjelaskan kasus rokok, tenaga kerja wanita, dan underground economy sebagai penyelamat krisis 1997 hingga kini,” tambah Muhadjir.
Menanggapi buku setebal 222 halaman yang diterbitkan oleh Kompas ini, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UGM, berpendapat tranformasi kelembagaan mewariskan masa lalu yang sangat membebani kualitas lembaga-lembaga yang ada saat ini. Meski masa reformasi telah merombak sebagian besar infrastruktur kelembagaan formal orde baru, lembaga-lembaga baru ini masih terkesan “terkunci”.
Menurut Mudrajad, reformasi semestinya dapat melangkah lebih jauh dari perubahan-perubahan dalam susunan formal lembaga-lembaga. Oleh karena itu, Indonesia perlu bergegas mentransformasikan lembaga-lembaga guna menarik manfaat sebesar-besarnya dari globalisasi. “Karenanya diperlukan upaya untuk menghindari jebakan ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya alam dan upah tenaga kerja industri manufaktur yang dinilai rendah,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)