YOGYAKARTA – Pemerintah dinilai gagal menjalankan perannya dalam menangani tindak aksi kekerasan dan penyerangan atas nama agama. Aksi kekerasan yang tidak dapat ditangani secara efektif dan terjadi secara berulang-ulang berdampak buruk bagi potret kehidupan hubungan beragama di tanah air. Hasil temuan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) UGM selama tahun 2010, di luar kasus Ahmadiyah, ditemukan sedikitnya 20 kasus tuduhan penodaan agama.
Dari kasus-kasus yang terjadi, beberapa di antaranya mengedepankan aksi kekerasan, termasuk pelanggaran hak-hak sipil, politik, dan ekonomi warga Ahmadiyah di Mataram, juga aksi kekerasan serta penyerangan warga Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan. “Hingga kini, tidak ada proses pengadilan atas kasus tersebut,” kata Direktur CRCS, Dr. Zainal Abidin Bagir, dalam menyampaikan laporan tahunan kehidupan berdagama di Indonesia tahun 2010, Jumat (11/2). Ikut hadir dalam acara tersebut peneliti CRCS, Suhadi Cholil.
Aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama dilakukan oleh ormas tertentu, terutama dalam kasus-kasus penyerangan rumah ibadah, penyerangan kelompok yang dianggap sesat, dan beberapa acara yang melibatkan komunitas orientasi seksual yang berbeda. Meskipun setiap individu dan kelompok berhak menyampaikan aspirasinya, ketidaksetujuan pada nilai-nilai tertentu semestinya dilakukan dengan cara-cara beradab dan menghargai hak warga negara lain. “Ormas yang melakukan kekerasan tak harus dibubarkan karena pembubaran membuka pintu otoritarianisme. Yang lebih penting ditangani pada aspek kekerasannya,” ujarnya.
Sepanjang 2010, aksi kekerasan masih terjadi di seputar masalah pendirian rumah ibadah. Laporan CRCS menemukan ada 39 rumah ibadah yang dipersoalkan, sebagian besar menyangkut keberadaan gereja yang dipermasalahkan oleh sebagian umat muslim. Menariknya, 70% kasus terkonsentrasi di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Cukup memprihatinkan, 17 kasus kekerasan fisik terjadi dalam persoalan rumah ibadah tersebut. “Sebagian dari konflik rumah ibadah berujung kekerasan. Kasus persoalan rumah ibadah selama tahun 2010 meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2009 yang hanya ditemukan 18 kasus,” ujar Suhadi Cholil.
Persoalan izin pendirian masih menjadi pemicu utama munculnya kasus-kasus persoalan rumah ibadah. Sebanyak 24 kasus mengandung unsur belum adaya izin rumah ibadah, sedangkan 4 kasus menyangkut rumah ibadah yang telah memiliki izin, tetapi tetap saja dipersoalkan. “Kenyataannya masalah seputar rumah ibadah tidak saja menyangkut kerukunan beragama, tapi juga kebebasan beragama,” katanya.
Selain itu, menurut Suhadi, CRCS menemukan adanya politisasi agama dalam pemilukada selama tahun 2010 dalam bentuk pencalonan kandidat, pemilihan pasangan kandidat, upaya partai menggadeng ormas atau pemimpin agama sampai dengan penggunaan teks agama untuk mendukung atau menjatuhkan kandidat. “Politisasi agama itu belum tentu efektif untuk mendulang suara. Dalam banyak kasus justru menimbulkan polarisasi antarmasyarakat,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)