YOGYAKARTA – Sebanyak 36 mahasiswa di Yogyakarta mengikuti pertemuan pemuda lintas agama atau Youth Interfaith Gathering (YIG) yang digagas oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Sabtu (12/2). Pertemuan pemuda lintas agama ini dalam rangka memperingati minggu harmonis antarpemeluk agama sedunia yang jatuh pada bulan Februari. Para peserta berasal dari berbagai agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu, dan datang dari empat perguruan tinggi, yakni Univeristas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sanata Dharma (Sadhar), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), dan Sekolah Tinggi Teologi Nazarene (STTN).
Direktur CRCS UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, mengatakan dialog intensif antarpemuda lintas agama ini akan lebih banyak membahas agama dan bencana. Dialog bertujuan untuk membuka ruang bersama antarpemuda yang memiliki latar belakang agama, disiplin ilmu, dan tradisi budaya yang berbeda agar saling berkomunikasi. “Ini bukan penelitian. Namun, ingin mempertemukan latar orang yang berbeda agama, universitas, disiplin ilmu, tradisi, membicarakan, dan berdiksusi tentang masalah bencana,” katanya.
Menurut Zainal, kelebihan dari kegiatan dialog antaragama yang dilakukan CRCS kali ini adalah para peserta berasal dari kalangan muda. “Fokusnya anak muda. Selama ini, dialog lintas agama lebih terbatas tokoh agama. Di sini, mereka tidak secara langsung membahas agama, tapi menjalin komunikasi dan dialog antar mereka,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif (SE) UGM, Drs. Joko Moerdiyanto, M.A., menyambut baik dan memberikan apresiasi untuk kegiatan dialog tersebut. “Dari kegiatan dialog seperti ini menjadikan pemuda memiliki pemahaman dan pengertian yang utuh tentang kehidupan keberagaman yang dimiliki,” kata Djoko di Balairung, Sabtu (12/2).
Selain melakukan dialog lintas agama, para peserta juga mengunjungi daerah bencana erupsi Merapi di Dusun Bronggang, Cangkringan. Di lokasi bencana, para peserta menggali informasi melalui persepsi penduduk tentang bencana yang mereka alami. Selama di lokasi, para peserta diberi tugas menggali data demografi untuk mengetahui jumlah korban, peran tokoh agama dan tokoh politik saat terjadi bencana, persepsi penduduk tentang erupsi Merapi, serta perubahan kebiasaan/kebudayaan sebelum dan pascaerupsi. “Tujuannya mengetahui dampak erupsi Merapi, baik hal yang positif dan negatif. Mereka bisa berinteraksi langsung untuk lebih tahu tentang persepsi masyarakat menghadapi bencana,” kata Ketua Panitia, Najiah Martiam, yang ditemui di Hotel Oasis, Kaliurang, Sleman.
Usai mengunjungi Dusun Bronggang, para peserta berdiskusi tentang hasil temuan mereka di lapangan. Selanjutnya, mereka mengikuti diskusi panel tentang agama dan bencana yang disampaikan peneliti CRCS, Dr. Arkom Kuswanjono dan Suhadi Cholil. Dalam presentasinya, Suhadi Cholil menegaskan pentingnya mengedepankan rasa kemanusiaan dalam membantu masyarakat yang terkena musibah bencana, tanpa membedakan agama dan kepercayaan yang dianut. (Humas UGM/Gusti Grehenson)