YOGYAKARTA-Ratusan TKI purna eks Korea, khususnya yang ada di DIY, ternyata masih mengalami kendala dan hambatan sekembalinya ke Indonesia. Setidaknya dua persoalan yang masih dijumpai, yakni terkait dengan modal dan keterampilan. Akibat keterbatasan modal dan keterampilan, banyak dari mereka yang kembali ke Korea dan tidak mengembangkan usaha di Indonesia. “Akhirnya, banyak dari mereka yang terjebak selalu ingin kembali ke luar negeri, dan tidak ingin mengembangkan usaha di Indonesia,†kata Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Prof. Dr. P.M. Laksono, dalam Seminar Nasional TKI Purna Eks Korea di Provinsi DIY dalam Perubahan Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Tingkat Desa, yang bertempat di Ruang Multimedia UGM, Rabu (16/2).
Laksono menambahkan dengan kondisi tersebut, seharusnya pemerintah dapat memfasilitasi para eks TKI agar tidak lagi menjadi ‘buruh’ di luar negeri, tetapi dapat berkarya di negeri sendiri. Persoalan modal dan keterampilan, diakui Laksono, tetap menjadi prioritas untuk diselesaikan sehingga eks TKI akan memperoleh ‘ketangguhan’. “Kalau pun mereka harus kembali bekerja di luar negeri, tetap harus punya ketangguhan agar tidak sia-sia,†katanya.
Sementara itu, peneliti PSAP lainnya, Ratih Pratiwi Anwar, S.E., M.Si., menambahkan sebagaimana hasil penelitian yang mereka lakukan pada Juli 2010-Januari 2011, fenomena TKI bertujuan Korea di DIY didominasi oleh mereka yang berasal dari kalangan lapisan bawah, sebagian kecil berasal dari lapisan atas dalam struktur sosial masyarakat. Selain itu, ada kecenderungan TKI purna eks Korea di DIY mengalami mobilitas sosial secara vertikal setelah kembali dari Korea. “Penelitian sebenarnya juga menunjukkan beberapa perubahan budaya responden, seperti sikap kerja setelah pulang dari Korea, seperti semakin disiplin, rajin, bekerja keras, dan menghargai waktu,†urai Ratih.
Ditambahkan Ratih, hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar TKI purna eks Korea sebagian besar memang telah memiliki penghasilan cukup dan mampu menciptakan kesempatan kerja meskipun relatif terbatas pada keluarga inti TKI purna. Untuk itu, ke depan perlu suatu program pelatihan/bimbingan teknis yang sesuai dengan jenis pekerjaan TKI purna eks Korea dan bantuan permodalan.
Di tempat yang sama, Heri Pralistyo, Ketua Asosiasi TKI Purna eks Korea se-DIY, mengakui adanya kendala modal dan kurangnya keterampilan yang mendukung kemandirian ekonomi para TKI. Untuk mendapatkan modal usaha, TKI purna eks Korea banyak yang berharap dapat bekerja ke Korea lagi. “Banyak yang sudah tes bulan Desember lalu, tetapi sedikit sekali yang diterima bekerja di Korea,†kata Heri.
Para TKI purna eks Korea di DIY, sejauh ini telah mengembangkan usaha ekonominya di berbagai sektor, baik pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, maupun jasa. Banyak di antara mereka yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran di desa.
Sementara itu, terkait dengan adanya kerja sama provinsi kembar DIY dan Kyongsangbuk-do Korea, Asosiasi TKI Purna eks Korea se-DIY sedang menjajaki kemungkinan kerja sama ketenagakerjaan antara keduanya. “Kerja sama antara dua provinsi ini diharapkan dapat membantu mempercepat pemulihan ekonomi di DIY, terutama di Kecamatan Turi, Sleman,†pungkas Heri. (Humas UGM/Satria AN)