YOGYAKARTA-Sebagai cita hukum, Pancasila ibarat nyawa yang tidak hanya memberikan panduan ke mana hukum dan penegakannya akan dibawa, tetapi sekaligus nilai axiologis dalam menentukan hukum apa yang akan dibentuk dan bagaimana menjalankannya. Namun sayang, pembentukan dan penegakan hukum saat ini terkesan telah meminggirkan Pancasila. Bahkan, perdebatan akademis dan proses pendidikan tinggi hukum mungkin juga semakin jarang mendalami cita hukum dalam studi-studi filsafat hukum.
“Tidak heran, hukum Indonesia yang telah kehilangan nyawa dapat dengan mudah dimasuki oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bertentangan dengan cita hukum itu sendiri,†kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H., LL.M., dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Revitalisasi Pancasila sebagai Cita Negara Hukum”. Orasi disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum (FH) UGM, Kamis (17/2).
Melihat kondisi tersebut, menurut Mahfud, gagasan revitalisasi Pancasila sebagai cita hukum mendesak untuk tidak hanya diwacanakan, tetapi harus dijalankan. Tujuan dari gagasan ini adalah untuk mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai cita hukum, mulai dari pembentukan hukum hingga pelaksanaan dan penegakan hukum. Revitalisasi sangat perlu dilakukan untuk menjadikan Pancasila sebagai paradigma dalam berhukum sehingga dapat memperkecil jarak antara das sollen dan das sein, sekaligus memastikan nilai-nilai Pancasila senantiasa bersemayam dalam praktik hukum. “Yang terpenting untuk merevitalisasi Pancasila sebagai cita hukum negara ini adalah internalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai rambu-rambu pembangunan hukum nasional,†kata Mahfud.
Nilai-nilai dasar tersebut kemudian melahirkan empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani dalam pembangunan hukum. Pertama, hukum nasional harus dapat menjaga integrasi, baik ideologi maupun teritori sesuai dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis, dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui mekanisme yang fair, transparan, dan akuntabel.
Berikutnya, ketiga, hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial, dalam arti harus mampu memperpendek jurang antara yang kuat dan yang lemah serta memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan yang kuat, baik dari luar maupun dalam negeri. Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antar pemeluknya. “Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk,†kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan melakukan revitalisasi bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Proses revitalisasi tidak dapat dilakukan dengan sekadar sistem pendidikan aparat penegak hukum yang menekankan pada aspek pengetahuan, seperti pola penataran P4, tetapi harus terinternalisasi serta menyatu dengan sistem dan kultur hukum. “Dalam proses ini diperlukan peran semua pihak, terutama pendidikan tinggi hukum sebagai kawah candradimuka pemikiran-pemikiran hukum serta institusi yang bertanggung jawab atas kualitas dan integritas para ahli dan praktisi hukum Indonesia,†pungkas Mahfud. (Humas UGM/Satria AN)