Setelah beberapa kali melakukan pembicaraan damai di meja perundingan sejak tahun 2000, proses negosiasi anatar pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya berakhir dengan kesepakatan Helinski di tahun 2005. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Thailand, proses negosiasi antara pemerintah Thailand dan Bersatu sejak 2004 silam hingga saat ini bersifat sporadis.
Titik Firawati, S.IP., M.A., staf pengajar Jurusan ilmu Hubungan Internasional (HI) UGM mengungkapkan kasus Aceh menunjukkan bahwa proses perundingan antar pemerintah Indonesia dan GAM cenderung berkelanjutan, namun tidak antara pemerintah Tahiland dan Bersatu. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan situasi internal kelompok dalam negosiasi antara pemerintah Indonesia dan GAM dengan pemerintah Thailand dan Bersatu. “Pemerintah Indonesia dan GAM pada akhirnya sama-sama menemui jalan buntu yang menyakitkan setelah pendekatan unilateral yang dilakukan selama hampir 30 tahun gagal mengakhiri konflik. Sementara pemerintah Thailand dan Bersatu tidak mengalami situasi situasi seperti itu. Mereka tetap siaga dan saling melancarkan serangan,†jelasnya Kamis (17/2) dalam Seminar “Konflik dan Perdamaian di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, dan Thailand)†di Auditorium Fakultas Filsafat UGM.
Friksi internal di tubuh pemerintah Indonesia dan GAM dituturkan Titik, masih dalam batas kontrol masing-masing pihak. Namun, tidak demikian halnya dengan pemerintah Thailand dan Bersatu. Keduanya menghadapi tekanan dari dalam, terutama bagi Bersatu mengalami krisis legitimasi karena tidak mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari semua kelompok pemberontak yang beroperasi di Thailand Selatan.
Ditambahkan Titik, interaksi antar kelompok juga turut mempengaruhi proses perundingan pada pihak yang bertikai. Pada kasus Aceh, pemerintah Indonesia dan GAM saat awal perundingan sama-sama mempertahankan tuntutan awal yang tidak memberikan kemerdekaan bagi GAM. Namun, sikap ini tidak bertahan lama setelah GAM mengabaikan tuntutan dan membuka jalan untuk memenuhi kepentingan kedua belah pihak. “Rupanya interaksi antar kelompok yang positif ini tidak terjadi di kasus Thailand Selatan. Pemerintah Thailand bersikukuh dengan posisi awal dan meragukan proses perundingan yang sedang berjalan meskipun Bersatu tidak lagi menuntut kemerdekaan,†terangnya.
Melihat sejumlah kondisi tesebut, dikatakan Titik perlu adanya perhatian terhadap pihak-pihak yang mengalami situasi dimana pihak-pihak yang bertikai mengalami jalan buntu sehingga merasa rugi jika melanjutkan pendekatan unilateral yang selama ini diterapkan yang kemudian diikuti dengan tuntutan fleksibel dan pertukaran konsesi akan menumbuhkembangkan proses perdamaian. Tak hanya pihak-pihak yang terlibat konflik, pihak ketiga juga dapat membantu menciptakan situasi tersebut melalui persuasi atau tekanan. Selain itu situasi internal yang solid, tanpa friksi bisa memperlancar prosese perdamaian. “Dengan memperhatikan kondisi tersebut proses perdamaian di Thaland Selatan bisa berubah yang sebelumnya bersifat sporadis menjadi proses yang terus menerus dan berorientasi pada pencapaian kesepakatan akhir yang menguntungkan masing-masing pihak. Perubahan semacam ini diharapkan bisa mewujudkan perdamaian di Thailand,†jelas Titik.
Sementara Prof. Dr. Ahmad Somboon Bualuang, dari Prince Sonkhla University Thailand menyebutkan konflik yang terjadi di wilayah Thailand Selatan bisa diselesaikan dengan melakukan dialog keamanan bersama antar pemerintah dengan setiap golongan perjuanan Patani, membina jaringan perdamaian di seluruh Negara, dan menjalankan strategi komunikasi sosial untuk meningkatkan pemahaman situasi wilayah sehingga bisa hidup dengan damai. “Juga dengan promosi akan kemungkinan mendirikan mahkamah syariah Islam di bawah Pejabat Kehakiman Thailand,â€kata Ahmad.
Sementara Michael Vatikiotis, Direktur Asia, Henry Dunant Center mengatakan penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di Asia Tenggara bisa terwujud apabila pemerintah masing-masing melahirkan kebijakan dan strategi penyelesaian konflik secara damai, sehaluan dengan prinsip demokrasi serta sesuai dengan hak asasi manusia. “Selama ini di banyak negara Asia Tenggara politiknya tidak sehaluan dengan kebijakan yang dibuat. Sebenarnya perdamaian akan terwujud jika pemerintah membuat kebijakan dan stategi penyelesaian konflik yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia,†ungkap Vatikiotis. (Humas UGM/Ika)