Indonesia menjadi negara tercepat dalam pertumbuhan HIV di Asia. Penggunaan jarum suntik menjadi penyumbang terbedar berbagai kasus HIV di Indonesia. Sebanyak 2.682 orang tercatat mengidap HIV AIDS (ODHA) pada tahun 2004. Jumlah ini meningkat pesat menjadi 19.973 orang di tahun 2009. “Jika pada awalnya hanya terjadi di 16 provinsi di Indonesia, kini hampir di 33 provinsi,” papar Prof. Dr. Nurul Ilmi Idrus, Kamis (17/2) saat menjadi pembicara pada Seminar “STIGMA FROM WITHIN Narkoba, Jankis dan HIV”.
Sulawesi Selatan menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus HIV dan AIDS yang tinggi. Merujuk data Dinas Kesehatan Provinsi per September 2010, terdapat 3.684 orang yang terinfeksi HIV dan AIDS, yang terdiri atas 2762 HIV dan 922 AIDS.
Kota Makassar, kata Nurul, menjadi salah satu kota di Indonesia dengan peningkatan cepat jumlah yang terinfeksi HIV dan AIDS, yaitu 3.058 orang dengan sebaran 2390 HIV and 668 AIDS. “Salah satu kelompok dengan perilaku berisiko tinggi adalah pengguna jarum suntik (jankis). Jumlah mereka saat ini diperkirakan mencapai 6.000 orang. Ini sungguh memprihatinkan,” ucapnya di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Nurul menjelaskan Jankis merupakan istilah gaul pengguna narkoba suntik (penasun). Istilah plesetan dari kata junk (rongsokan), dan menjadi stigma yang diberikan masyarakat untuk mereka. Jankis di kalangan pengguna narkoba menduduki level teratas, bukan saja karena jenis obat yang digunakannya (heroin), tapi dikenal dengan istilah pete alias putauw. Bila dibandingkan dengan jenis narkoba lain, harganya tentu relatif lebih mahal dan penggunaannya melalui penyuntikan.
Meski tak semuanya, jankis pada umumnya diidentik dengan kriminal. Kondisi tersebut menyebabkan mereka terisolasi secara sosial, tidak saja oleh masyarakat luas, namun juga oleh keluarga mereka sendiri. “Apalagi bila si jankis sudah terinfeksi HIV,” papar dosen Universitas Hasanuddin Makassar.
Pada banyak kasus bila ada di antara anggota keluarga adalah jankis, hal itu dipandang sebagai aib. Keluarga pun merasa malu, menyembunyikan, bahkan terkadang tak lagi mengakuinya. Apalagi mereka yang berasal dari keluarga mapan dan memiliki kedudukan (jabatan). “Banyak anak pejabat yang secara tiba-tiba meninggal tanpa diketahui sebelumnya. Karena semakin mereka terisolasi maka semakin sulit berhenti. Merek asyik dengan mabuknya,” ungkap Nurul.
Sepertinya dukungan moral menjadi pemberi semangat tersendiri untuk para jankis ringan dan parah. Karena senyum diantara sesama mereka sudah menjadi penyemangat tersendiri. Tak jarang dari para jankis ini saling menolong, terlebih kepada teman yang sakit parah dan keluarganya sudah tak peduli lagi. “Mereka saling mengurus sampai meninggal. Mereka berfikir juga bila suatu saat diantara mereka juga membutuhkan pertolongan,” terang Nurul. (Humas UGM/ Agung)