YOGYAKARTA – Badan Legislasi DPR RI disarankan untuk meninjau ulang draf RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan karena isi draf tersebut dinilai bersifat diskriminatif. Pengendalian produk tembakau lebih didasarkan atas aspek kesehatan semata dan belum banyak memberikan perlindungan kepada para petani tembakau.
Demikian yang mengemuka dalam hasil kunjungan kerja Badan Legislasi DPR RI ke Universitas Gadjah Mada, Jumat (18/2). Tim Badan Legislasi DPR yang hadir, antara lain, Ahmad Dimyati Natakusumah (PPP), Didi Irawati Samsudin (PD), Teti Kadi Bawono(Golkar), Eko Sarjono Putro (Golkar), Hendratmo Pratikno (PDIP), dan Sarifudin (Hanura).
Menanggapi draf RUU yang masuk prolegnas tahun 2011 ini, Dekan Fakultas Pertanian, Prof. Ir. Triwibowo Yuwono, Ph.D., menilai RUU pengedalian produk tembakau tidak memberi perlindungan terhadap para petani tembakau meskipun disebutkan akan diberi insentif bagi petani yang mau mengalihkan tanaman tembakau ke tanaman lain. “Insentif harus jelas dan terukur sebab saya melihat biaya untuk ini cukup kecil,” kata Triwibowo.
Menurutnya, apabila ada pengaturan tentang tanaman tembakau, perlu dipikirkan untuk mendorong petani agar menanam tanaman pangan atau tanaman bioenergi. Karena petani merupakan masyarakat yang mayoritas masih tergolong miskin, apabila pendapatan dari tembakau dihapus, dikhawatirkan mereka semakin tertekan dan miskin.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., tidak sependapat bila produk tanaman tembakau dikendalikan atau dikurangi. Menurutnya, banyak zat kandungan tanaman tembakau yang perlu dimanfaatkan untuk produk lainnya sebagai anti kanker dan anti oksidan. Bahkan, kini kandungan tembakau dapat dimanfaatkan untuk mengobati kanker getah bening. Tembakau juga dapat digunakan untuk produk parfum. “Tembakau dihilangkan tentunya sangat tidak bijaksana,” katanya.
Sementara itu, peneliti tembakau dari Fakultas Kedokteran UGM, Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si,. Ph.D., mengatakan RUU ini bertujuan untuk melindungi kesehatan para perokok pasif. Namun, ia menilai draf yang ada saat ini seolah-olah memunculkan polaritas antara aspek kesehatan dengan keberadaan petani tembakau. “Seharusnya, RUU ini bisa membantu rakyat miskin untuk mengatur pengeluaran dengan menaikkan harga rokok,” katanya.
Ikut memberikan masukan dalam kesempatan tersebut, di antaranya Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Prof. Dr. Ir . San Afri Awang, M.Sc., dan tim dari Quit Tobacco Indonesia (QTI) FK UGM. (Humas UGM/Gusti Grehenson)