Perubahan iklim di Indonesia memberikan dampak pada perubahan fisik lingkungan, seperti meningkatnya genangan banjir di dataran rendah, erosi pantai, gelombang ekstrim, dan banjir. Perubahan tersebut menyebabkan pula intrusi air laut ke sungai dan air tanah, kenaikan muka air sungai, perubahan pasang surut dan gelombang, serta meningkatnya sedimentasi di muara sungai.
Jika proses ini berlangsung terus, menurut Prof. Dr. H.A. Sudibyakto, M.S., akan berdampak pada perubahan morfologi pantai dan ekosistem, terganggunya ekosistem di permukiman, juga kerusakan sumber daya air, infrastruktur, perikanan, pertanian, dan wisata bahari. Dengan demikian, pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi sangat penting sebab dampak perubahan berupa kenaikan air laut akan menggenangi wilayah pesisir dan beberapa pulau kecil. “Pulau-pulau yang hanya berukuran kurang dari 10.000 km2, dengan jumlah penduduk di bawah 500 ribu orang. Pulau-pulau ini secara ekologis terpisah dari pulau induknya (insular), daerah tangkapan airnya sempit, dan memiliki budaya dan keunikan lingkungan yang sifatnya lokal,” katanya di Balai Senat, Selasa (22/2), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Geografi UGM.
Beberapa contoh dampak perubahan iklim terhadap kenaikan muka air laut di Indonesia, antara lain, di wilayah pantai utara (Pantura) Pulau Jawa. Berdasarkan skenario dan survei, akibat perubahan iklim akan terjadi kenaikan muka air laut di Pantura Jawa antara 6-10 mm per tahun. Hal ini mengandung arti kota-kota pesisir Pantura Jawa, seperti Pekalongan, dalam 100 tahun ke depan akan terjadi genangan air laut sejauh 2,1 km dari garis pantai. “Sementara kota Semarang, akan tergenang sejauh 3,2 km dari garis pantai,” terang Guru Besar Bidang Ilmu Hidrologi ini.
Berdasar hasil analisis terhadap dampak kenaikan muka air laut, Indonesia perlu segera melakukan analisis terhadap kerentanan wilayah pesisir. Analisis kerentanan ini pada umumnya menggunakan beberapa variabel, di antaranya kondisi geomorfologi, tingkat erosi/akresi pada garis pantai, kemiringan pantai, perubahan elevasi muka relatif, rata-rata tinggi gelombang, dan rata-rata kisaran pasang surut. “Dengan demikian wilayah pesisir yang rentan terhadap kenaikan muka air laut dapat diperkirakan tingkat risikonya,” ujar pria kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1956 ini.
Dikatakan bahwa analisis risiko terhadap kenaikan muka air laut ini sangat penting. Selain untuk mengetahui wilayah-wilayah yang berisiko menerima dampak dan kerugian akibat perubahan iklim dan kenaikan air laut, analisis risiko ini bermanfaat pula untuk mengetahui prioritas wilayah yang akan menjadi program rencana aksi pengurangan risiko bencana. Sebagai contoh, analisis risiko akibat kenaikan air laut kota Semarang dalam 20 tahun mendatang mencapai 16 cm dan akan memberikan dampak pada kerusakan ruas jalan sepanjang 32,152 km. “Rumah yang akan tergenang mencapai 3.522, sawah 64,3 hektar, dan 2.149 hektar tambak akan terpengaruh air asin,” terang suami Dra. Hj. Kiptiyah binti Husein Ahmad ini.
Dalam pidato “Pengembangan Analisis Risiko Multi-Bencana dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim di Indonesia”, Sudibyakto mengatakan pertumbuhan penduduk yang cepat, pembangunan dan tata ruang yang kurang memperhatikan kerawanan terhadap bencana memberikan peluang terhadap semakin meluas dan meningkatnya kerugian dan risiko akibat bencana alam di Indonesia. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu, yang dapat berupa kematian, luka, sakit, dan jiwa terancam. “Selain itu, berakibat pula akan hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)