Sebagai lembaga yang masih baru, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Indonesia mengalami permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan lembaga penjamin simpanan di Amerika Serikat (FDIC) dan lembaga sejenis lainnya. LPS menghadapi persoalan terkait dengan penentuan premi yang wajar, cadangan klaim yang tepat, dan batas nilai penjaminan yang optimal. Pada praktiknya, LPS menerapkan premi dengan tarif tetap, pembentukan cadangan klaim masih bersifat arbiter, dan penentuan batas nilai penjaminan simpanan yang terlalu tinggi. Kondisi ini justru mendorong timbulnya permasalahan moral hazard dan insolvensi LPS apabila terjadi bank run.
Hal tersebut disampaikan Drs. Firman Pribadi, M.Si., saat ujian terbuka program doktor, Senin (21/2), di Auditorium BRI Program M.Si. dan Doktor FEB UGM. Dalam kesempatan itu, Firman mempertahankan disertasi berjudul Aplikasi Model Risiko Kredit untuk Mengestimasi Harga Premi Penjaminan Simpanan Wajar dan Pengujian Moral Hazard.
Menurut Firman, LPS dalam sistem perbankan di Indonesia saat ini hanya berperan menangani bank gagal tanpa mempunyai kekuatan untuk mengawasi bank-bank yang menjadi anggotanya. Dengan kondisi LPS saat ini, tidak dipungkiri akan mendorong timbulnya moral hazard dari bank-bank yang menjadi anggota LPS kepada LPS. “Bank-bank anggota LPS mengeksploitasi kesalahan harga penjaminan simpanan yang diterapkan LPS dengan meningkatkan risiko pengungkitan/menurunkan rasio modal dan risiko aset mereka jika LPS menetapkan preminya tidak berbasis pada risiko. Bank akan memindahkan risikonya kepada LPS untuk mendapatkan keuntungan,” kata pria kelahiran Sungai Penuh, 17 Juni 1967 ini.
Lebih lanjut disampaikan Firman yang juga menjadi dosen tamu di FEB UGM ini, meskipun sistem penjaminan simpanan mendorong timbulnya moral hazard, sejarah menunjukkan sistem ini bermanfaat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan suatu negara. Oleh sebab itu, untuk dapat mengaplikasikan sistem ini dengan baik, dibutuhkan sebuah desain sistem penjaminan simpanan yang memperhatikan saling tukar antara moral hazard dan stabilitas.
Pemindahan risiko dari bank ke LPS ini, menurut Firman, menunjukkan adanya ekspropriasi dari manajemen bank kepada rakyat pembayar pajak. Ekspropriasi terjadi ketika bank-bank yang tidak sehat harus ditangani LPS dengan menggunakan dana APBN, yang merupakan dana dari rakyat pembayar pajak. Penggunaan dana APBN terjadi jika dana dari LPS tidak mencukupi untuk menutupi kejadian bank gagal. Penggunaan dana APBN ini dimungkinkan oleh UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Beberapa penelitian menunjukkan sistem penjaminan simpanan yang didesain dengan baik dapat mengurangi terjadinya moral hazard. Fitur desain adalah dengan membentuk sistem premi yang wajar berbasis risiko, kecukupan modal bank, batas pejaminan, koasuransi, dan regulasi prudensial yang ketat didukung oleh institusi pengawasan yang kuat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh suami Titik Sri Winarni, S.E. ini terhadap 22 bank terbuka diketahui bahwa cadangan klaim LPS saat ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan risiko rugi yang akan datang dari kejadian bank gagal. Selanjutnya, estimasi premi yang berbasiskan risiko total untuk bank-bank yang dijadikan sampel tampak sejalan dengan dana cadangan klaim yang dibutuhkan oleh LPS. Hasil lain juga memperlihatkan terdapat perbedaan yang siginifikan dalam penentuan premi penjaminan simpanan untuk sampel bank-bank yang berbeda.
Dari hasil analisis terkait dengan pengujian moral hazard menunjukkan terdapat perilaku moral hazard untuk batas nilai penjaminan simpanan hingga 100 juta rupiah per rekening dan 1 miliar rupiah per rekening. “Sistem premi tarif tetap pada sistem penjaminan simpanan akan mendorong timbulnya moral hazard dari bank-bank anggota LPS kepada LPS, terutama di negara-negara yang sistem perbankan masih lemah. Semakin tinggi nilai batas penjaminan, akan semakin tinggi pula dorongan terjadinya perilaku moral hazard. Untuk itu, nilai batas penjamin simpanan hingga 100 juta rupiah per rekening kiranya merupakan nilai batas penjaminan simpanan optimal,†jelasnya. (Humas UGM/Ika)