Identitas kuat yang dibangun dari kebanggaan dan penghargaan, serta dilandasi oleh keadilan akan membentuk kohesivitas sosial, rasa persatuan dan kebersamaan. Persatuan secara lebih esensial dapat dilihat dari tingkat kerjasama yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa kerjasama tersebut dapat bersifat mandatori maupun diskresionari.
Demikian disampaikan Prof Dr Faturochman MA saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM. Sekretaris Senat Akademik UGM periode 2002-2007 ini mengucap pidato “Psikologi Keadilan Untuk Kesejahteraan Dan Kohesivitas Sosialâ€.
Kata Faturochman, kerjasama mandatori umumnya dilakukan karena kewajiban, sedangkan kerjasama diskresionari lebih dipengaruhi oleh motivasi internal dari pihak-pihak yang terlibat. Kohesivitas sosial yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama karena mandat/kewajiban ini cenderung berorientasi pada upaya menghindari sanksi untuk mendapatkan reward.
“Secara psikologis, perilaku mandatori tidak cukup kuat dan permanen. Oleh karena itu, mempersatukan masyarakat dan bangsa dengan menekankan sistem mandatori ini tidak dapat berlangsung lama,†katanya, Selasa (27/5) di ruang balai Senat UGM.
Sebaliknya, jelas Faturochman, kerjasama diskresionari sebagai wujud dari kohesivitas sosial akan lebih permanen dan tangguh menghadapi tantangan. Kerjasama ini secara psikologis dilandasi oleh sikap positif untuk mengajak pihak lain agar terlibat sekaligus akan menguntungkan masyarakat dan individu di dalamnya.
“Disamping itu kerjasama diskresionari juga dilandasi oleh rasa tanggungjawab sebagai anggota masyarakat. Bahwa ide dasar keadilan restoratif sejalan dengan hal ini. Membangun masa depan bersama dengan tidak terpaku pada persoalan di masa lalu, dengan meninggalkan cara-cara konvensional proses retributif yang merupakan penerapan prinsip diskresi,†jelas Faturochman, alumnus program pascasarjana S2 population & pychology program, Flinders University Australia tahun 1992 ini.
Ditambahkannya, berbagai dimensi dan aspek keadilan telah dikaji dalam psikologi dengan cukup komprehensif, meliputi keadilan distributif, retributif, prosedural, relasional dan restoratif. Ini menunjukkan jika psikologi keadilan benar-benar ada.
Bahwa perkembangan kajian psikologi keadilan tidak sebatas memperkuat pemahaman tentang keadilan dari sisi psikologi, tetapi lebih maju dari itu yaitu implikasinya untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus persatuan dalam hidup bermasyarakat. Kajian psikologi keadilan yang pada mulanya lebih individualistis berkembang ke arah keterkaitan antara individu dengan lingkungan sosialnya.
“Perkembangan tersebut juga menunjukkan bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial secara bersama-sama merupakan kunci pembentukan kohesivitas dan identitas sosial yang kuat. Sebaliknya mengedepankan kepentingan pribadi dan hanya berorientasi menggapai kesejahteraan individu akan menyulitkan upaya mewujudkan keadilan, kohesivitas dan identitas bersama,†tambah pria kelahiran Cilacap 30 Nopember 1961, peneliti di pusat Studi Kependudukan UGM (1987-2005) ini.
Diakhir pidatonya, Faturochman meyakini apabila bangsa ini mempraktekkan keadilan, maka Indonesia akan tampil lebih percaya diri di mata dunia. Bahwa identitas sebagai bangsa akan menjadi kebanggaan warganya.
“Adalah tugas pemerintah menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan. Apabila aparatur pemerintah dan lembaga-lembaga negara ini masih menjadi sumber ketidakadilan, kita tidak bisa berharap masyarakat merasakan keadilan dan mengenyam kesejahteraan,†tutur suami Dr Ambar Widaningrum, ayah dua putri ini. (Humas UGM).