YOGYAKARTA – Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Marchaban, DESS, Apt., melantik 54 apoteker baru di University Club (UC), Kamis (24/2). Mereka terdiri atas 15 pria dan 39 wanita. Dengan demikian, sampai saat ini Fakultas Farmasi telah meluluskan 5.612 apoteker.
Dalam sambutannya, Marchaban mengatakan profesi apoteker saat ini lebih banyak diminati oleh kalangan wanita daripada pria. Hampir 2/3 lulusan apoteker dari UGM adalah wanita. “Termasuk keanggotaan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), sebagian besar lebih banyak wanita,” katanya.
Di hadapan apoteker baru, Marchaban mengatakan profesi apoteker merupakan profesi yang menjadi ujung tombak dalam pelayanan kesehatan di masyarakat karena memberikan perlindungan kepada konsumen obat. Oleh karena itu, apoteker harus mampu mengamalkan ilmu dengan sebaik-baiknya dengan mengedepankan akuntabilitas dan pelayanan prima. “Saat ini, ketersediaan dan keterjangkauan obat masih menjadi masalah dan belum menjangkau semua pelosok daerah,” katanya.
Tugas apoteker sesuai dengan aturan pemerintah, antara lain, memiliki kewenangan penuh dalam pelayanan dunia kefarmasian dan bertanggung jawab dalam hal pengelolaan obat, distribusi, hingga penggunaan obat ke konsumen.
Dalam kesempatan tersebut, Marchaban menyampaikan hasil survei di Amerika menunjukkan profesi apoteker merupakan profesi ketiga dari 10 profesi yang paling dipercaya oleh masyarakat di negara tersebut. “Urutan lima profesi yang paling dipercaya adalah profesi perawat, guru, apoteker, polisi, dan dokter. Mungkin di masyarakat kita tentu hasilnya beda, tapi kita harap tren ini merambah di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Drs. M. Dani Pratomo, M.M., Apt., mengkritisi kenaikan harga obat yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Menurutnya, tingginya harga obat di Indonesia menempati urutan kelima di dunia dari daftar negera-negara yang memiliki harga obat paling tinggi. “Kalau di empat negara tersebut, pelayanan obat sudah lewat asuransi yang sudah berjalan, tapi di Indonesia, pembelian obat keluar dari kantong pasien masing-masing,” tuturnya.
Untuk mengatasi kenaikan harga jual obat, pihaknya tengah mendesak pemerintah untuk membuat aturan guna memangkas jalur distribusi obat dan menekan harga obat di masyarakat. Selanjutnya, distribusi obat dari produsen melalui distributor hanya di jual ke apoteker. “Sebab saat ini distribusi obat lebih banyak yang ilegal daripada yang legal, akibatnya pelayanan obat jadi tidak rasional,” tegasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)