YOGYAKARTA- Keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah, reformasi, demokrasi, dan desentralisasi. Masing-masing ormas di daerah memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik ormas dapat dilihat, antara lain, dari sifat, hubungan keagamaan, etnisitas hingga hubungan dengan pemerintah daerah.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Seminar State of Anxiety, Ormas, dan Negara Hukum di Masa kini, yang bertempat di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis (24/2). Hadir dalam seminar tersebut, peneliti tamu PSKK, Dr. Laurens Baker (Nijmegen, Belanda) dan Dr. Lee Wilson (Cambridge, UK).
Dalam kesempatan itu, Baker dan Wilson mencontohkan beberapa ormas di daerah, seperti Forum Betawi Rempug (FBR) di Jakarta, Komando Adat Dayak (KAD) di Kalimantan, Pecalangan di Bali, dan Brigade Manguni di Minahasa. Dari beberapa ormas yang mereka teliti, ada yang memang secara legal memperoleh mandat dari pemerintah dan masyarakat, seperti Pecalangan. “Pecalangan jelas ormas yang punya mandat dari pemerintah daerah dan masyarakat, sementara yang lain tidak. Di samping itu, fokus kegiatan mereka pun berbeda, ada yang ke ekonomi, seperti KAD. Namun, ada yang lebih kompleks, seperti FBR dengan semboyannya 3S (shalat, sekolah dan silat),” terang Baker.
Dituturkan Baker, terkait dengan desentralisasi, posisi ormas-ormas tersebut di berbagai daerah relatif kuat seperti yang berada di pusat. Tingkat kepercayaan masyarakat pun masih tinggi kepada mereka daripada kepada institusi negara. Ini sangat mungkin terjadi karena perhatian ormas kepada realita yang dihadapi masyarakat seringkali lebih bagus dibandingkan dengan perhatian dari negara.”Di tataran bawah, misalnya, soal perkawinan hingga kematian, ormas justru sering membantu secara riil sehingga hal itulah yang menjadikan kepercayaan masyarakat kepada ormas masih tinggi,” kata Baker.
Sementara itu, Wilson menambahkan seiring dengan pergantian rezim dan desentralisasi, ormas di Indonesia pun seolah-olah menjadi terbagi-bagi di berbagai daerah. Dengan semboyan yang mereka miliki, seperti ormas anti KKN, berjuang untuk HAM, cinta damai, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan ikut menegakkan hukum, membuat ormas memperoleh simpati dari masyarakat.
Dengan posisi tawar yang dimiliki, termasuk melalui cara-cara kekerasan, keberadaan ormas di Indonesia telah masuk di berbagai ranah, baik yang secara jelas menunjukkan sebagai ormas layaknya “preman” yang mengandalkan kekerasan dalam setiap aktivitas, berhubungan di sektor bisnis, maupun yang masuk di ranah politik. “Semua orang kan selama ini sudah tahu ormas yang memang memiliki keterkaitan dan berafiliasi dengan partai politik tertentu. Mobilitas mereka pun semakin tinggi, masuk hingga ranah bisnis pula,” tutur Wilson.
Wilson menilai ke depan antara ormas dan pemerintah sangat memungkinkan untuk saling bekerja sama dan memberi keuntungan. Adanya pasar bebas dan demokrasi yang kian terbuka menjadi pendorong kerja sama kedua belah pihak. (Humas UGM/Satria AN)