YOGYAKARTA- Sosialisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia sejauh ini belum berjalan secara optimal. Akibatnya, masyarakat banyak yang belum memahami seluk-beluk HKI, bahkan enggan mendaftarkan hasil karya/temuannya kepada Direktorat Jenderal HKI Kemenkumham.
Selain itu, masih muncul pandangan bahwa untuk mendaftarkan sebuah temuan/karya intelektual dibutuhkan biaya yang cukup mahal. Ditambah lagi dengan proses yang panjang untuk dapat memperoleh sertifikat HKI. Padahal, potensi karya/penemuan di Indonesia yang dapat didaftarkan HKI-nya masih sangat besar. “Di Indonesia, dari sebagian masyarakat memang ada yang menilai biaya mendaftarkan HKI relatif mahal dan waktunya panjang, bisa sampai 6-7 tahun. Padahal, di Jepang bisa hanya 1-2 tahun saja,” kata dosen Fakultas Hukum UGM, Dina W. Kariodimedjo, S.H., L.L.M., dalam Diskusi Isu Perdagangan di Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Jumat (25/2).
Dalam diskusi tersebut juga diputarkan film Japan’s Steps Forward in Intellectual Property dan Wisdom is Key Element, yang banyak membahas sejarah serta perkembangan ekonomi Jepang dan hasil sistem HKI (property system).
Lamanya proses pengurusan sertifikat HKI, menurut Dina, antara lain, karena petugas/aparatur yang bekerja di Direktorat HKI lamban dalam bekerja. “Solusinya kalau itu, ya bisa dengan tambahan insentif atau diikutkan kursus/training HKI yang sudah banyak diadakan,” terang Dina yang juga pengelola Internasional Undergraduate Program (IUP) Fakultas Hukum Bidang Kerja Sama dan Pengembangan ini.
Sayangnya, dampak dari belum optimalnya sosialisasi HKI dan lambannya aparatur yang bekerja masih diperparah dengan penegakan hukum yang buruk dan tebang pilih. Dina menjelaskan munculnya kasus pembajakan dan pemalsuan juga merupakan contoh dari belum optimalnya pemanfaatan HKI.
Sementara itu, dalam film yang ditayangkan hari itu digambarkan 5-7 persen barang perdagangan dunia yang beredar saat ini adalah produk/barang palsu. Dengan demikian, kerugian yang ditimbulkan dari peredaran dan perdagangan barang palsu dapat mencapai sekitar 400 miliar dolar. Film itu juga mencontohkan beberapa produk, mulai dari penemuan hingga proses paten. Beberapa produk yang dimaksud, antara lain, kaca optik SUMITA, NIPPON Tansan Gas (NTG), dan alat ukur NIKURA.
Jepang merupakan negara yang tertinggi di dunia dalam jumlah temuan yang dipatenkan dan akan dipatenkan. Untuk merk, Jepang berada di peringkat ketiga di bawah AS, sedangkan untuk desain industri, negara ini berada di peringkat kedua di bawah China.
Seperti diketahui, secara umum HKI di Indonesia dapat terbagi dalam dua kategori, yakni Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri meliputi paten, merk, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varietas tanaman. (Humas UGM/Satria AN)