Menjadi pengusaha merupakan pilihan. Selain karena bakat, ia bisa ditempuh melalui pendidikan. Kondisi ini tentu akan lebih baik bila seseorang memiliki keduanya, bakat sekaligus melengkapinya dengan teori dan pelatihan. “Sebab pada prinsipnya semua bisa menjadi pengusaha, bisa mahasiswa, pegawai, pustakawan atau siapa pun. Karena segala sesuatu itu kan sesungguhnya bisa dipelajari,” kata Nurul Indarti, S.E., Sivilokonom, Cand. Merc., Jumat (25/2) di Perpustakaan UGM Unit 2 lantai 1 dalam Talkshow “Kiat Sukses menjadi Young Entrepreneurâ€.
Dalam waktu sepuluh tahun terakhir, banyak orang melirik untuk menjadi seorang entrepreneur karena bidang ini bisa dilakukan seorang manajer sekalipun di saat-saat waktu luang dengan mengerjakan sesuatu atau bahkan mereka yang sudah tidak bekerja lagi. “Yang dibutuhkan adalah mind set, dari cara berpikir mencari pekerjaan menjadi membuka peluang kerja,” katanya.
Dalam talkshow yang diselenggarakan Perpustakaan UGM, Nurul menjelaskan menjadi entrepreneur berarti dituntut untuk berpikir kreatif dan inovatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta sering kali menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan. “Dengan pelatihan semacam ini memberikan keberanian bagi pekerja mengambil keputusan. Bukan dalam arti mereka terus membuka usaha. Namun, berbagai keputusan yang kemudian diambil para pekerja berpengaruh terhadap kinerja mereka di perusahaan,” tutur Nurul.
Pilihan menjadi entrepreneur dapat dilakukan dengan menjadi karyawan yang bekerja pada orang lain, profesional eksekutif, dapat menjadi intrapreneur, yakni karyawan dengan jiwa kewirausahaan inovatif tajam dalam melihat peluang, atau menjadi entrepreneur dengan usaha yang dikembangkan sendiri dan berani mengambil risiko. Di samping itu, seseorang dapat pula menjadi social entrepreneur ialah sebagai pelaku kegiatan sosial berwatak entrepreneur atau eco-preneur, yakni berwirausaha dalam bidang lingkungan hidup.
Berbeda dengan kalangan akademisi, menjadi seorang entrepreneur berarti menjadi orang yang berorientasi pada tindakan-tindakan simpel. Mereka selalu mencari peluang baru dan mengejar peluang tersebut dengan disiplin tinggi. “Hanya dengan mengambil peluang terbaik dan fokus pada eksekusi serta memusatkan energi setiap orang dalam bisnis, maka ia akan menjadi seorang entrepreneur,” lanjut Nurul.
Oleh karena itu, di saat mengawali usaha, mereka diharapkan memiliki karakter unggul, antara lain, memiliki tujuan dan rencana bisnis yang jelas, tidak mudah putus asa, dan berani mengambil risiko. Sementara itu, untuk dapat menuju karakter unggul, para pengusaha muda diharapkan secara berkesinambungan mengembangkan usaha dengan cara melakukan berbagai inovasi. Ia pun diharapkan terus melakukan up date perkembangan bisnis global, memanfaatkan perkembangan teknologi, dan membuka akses ke pasar global. “Namun, bekal yang utama, mereka diminta memiliki etika usaha sehingga mampu mengelola sumber daya manusia sebaik mungkin. Dengan begitu, mereka tidak hanya berorientasi pada capital gain,” tuturnya.
Firmansyah Budi Prasetyo, S.H., pengusaha sukses tela krezz, mengatakan untuk dapat menjadi pengusaha membutuhkan tindakan “gendeng” (gila). Dengan tindakan semacam ini dapat mengubah mind set seseorang. “Dibanding mencari kerja, tentu lebih baik mencipta peluang kerja. Sebagaimana saat kita lulus dari perguruan tinggi, kita hanya menerima selembar ijazah dan transkrip nilai. Pertanyaannya, apakah nilai ini telah memberi manfaat bagi orang lain?” ujarnya.
Firman sendiri pada awalnya tak membayangkan menjadi pengusaha. Namun, suratan tangan berkata lain. Ia justru menjadi seorang pengusaha muda cukup sukses dalam mengelola bisnis panganan berbahan singkong (ketela). Setelah lulus cum laude dari Fakultas Hukum UGM tahun 2004, ia masih bimbang antara mencari atau membuka lapangan kerja. Karena di lingkungannya, terutama keluarga, masih menginginkan Firman untuk bekerja.
Program pertukaran pemuda (Indonesia-Canada Youth Exchange Program, Canada World Youth, Vancouver, Kanada-Kalimantan Barat) tahun 2005- awal 2006 di Entikong tampaknya menjadi momen sangat berharga bagi Firmansyah. Di daerah perbatasan Kalbar dengan Kuching, ia melihat keluar-masuk Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Malaysia. “Mereka menjadi imigran ilegal. Ada yang disiksa, ada yang pulang tidak membawa uang, dan lain-lain. Inilah salah satu yang mendorong saya mengolah sumber daya alam yang ada di daerah,” katanya.
Firman mengakui perjalanan usahanya berawal dari keprihatinan terhadap bahan baku makanan di Indonesia. Hampir sebagian besar bahan makanan didatangkan dari luar negeri. Produk-produk yang dimaksud, di antaranya kedelai, gandum untuk tepung terigu, dan jagung. Firman miris melihat kondisi ini karena sebagai negara agraris masyarakat Indonesia mengkonsumsi produk berbahan baku impor.
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi hasil pertanian yang dapat menjadi bahan baku pangan. Salah satunya singkong (Manihot utilisima). Sayang, masyarakat Indonesia terlanjur memandang ketela sebagai bahan pangan kurang berkelas. Atas keprihatinan itulah muncul ide untuk mengolah sumber daya alam yang banyak terdapat di daerah Yogyakarta, bahkan Pulau Jawa menjadi penghasil singkong nomor satu.
Dalam berbisnis, pria kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini meyakini nama produk menjadi kunci sangat penting karena dengan nama dapat menjadi magnet yang mengarahkan konsumen untuk lebih tertarik. (Humas UGM/ Agung)