Konflik Nahdlatul Wathan (NW) yang terjadi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, (2008-2009) merupakan konflik keluarga yang pada akhirnya berubah menjadi konflik sosial yang melibatkan kelompok grass root dalam memperebutkan kekuasaan. Konflik NW tidak hanya terjadi pada satu tempat, tetapi bereproduksi ke komunitas-komunitas NW lainnya. “Konflik direproduksi melalui produksi wacana dengan dukungan mekanisme media agama pengajian,†kata Dr. Saipul Hamdi, M.A., saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, Sabtu (26/2), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Saipul Hamdi menyebutkan pasca-Muktamar Praya 1998, perang wacana dalam pengajian mengalami transformasi ke dalam praktik konflik dan kekerasan antarjamaah NW. Pola konflik dan kekerasan yang terjadi di komunitas NW hampir sama, yakni saat berlangsungnya pengajian.
Dalam disertasi berjudul “Reproduksi Konflik dan Kekuasaan dalam Organisasi Nahdlatul Wathan di Lombok Timur Nusa Tenggara Baratâ€, staf pengajar Manajemen Lingkungan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda ini menyampaikan saat diadakan pengajian, salah satu kubu yang berkonflik akan melakukan serangan dan menggagalkan kegiatan keagamaan tersebut. Kedua kubu saling memperebutkan lahan pengajian di masyarakat NW . Sementara itu, upaya rekonsiliasi yang dilakukan NW selalu mengalami kegagalan, terutama di tingkat elit.
“Meskipun konfilk NW bukan konflik agama. Namun, agama memainkan peranan yang cukup penting,†kata pria kelahiran Lombok Timur, NTB, 8 Januari 1980 ini.
Ditambahkan Saipul Hamdi, simbol agama sering kali dimanipulasi dan dieksploitasi sebagai alat legitimasi konflik untuk tujuan kekuasaan. Dalam kasus ini, agama gagal memainkan peran sebagai faktor rekonsiliasi. Agama justru malah menjadi pemicu terjadinya konflik,†kata doktor ke-1.349 UGM yang meraih predikat cum laude ini. (Humas UGM/Ika)