YOGYAKARTA-Alternatif perang melawan terorisme yang berkembang setelah serangan 11 September 2001 adalah strategi yang tidak berorientasi pada penggunaan kekerasan atau dikenal dengan soft-approach. Salah satu bentuk strategi ini dikenal melalui program-program deradikalisasi. Program deradikalisasi saat ini menjadi program yang sangat menarik dan diadopsi oleh banyak negara.
Sekalipun mengambil bentuk yang berbeda, program deradikalisasi pada dasarnya berangkat dari asumsi yang sama, yakni adanya keterkaitan antara terorisme dan radikalisme terorisme berawal dari radikalisme. “Oleh karenanya, upaya untuk memerangi terorisme lebih efektif dilakukan melalui deradikalisasi. Esensinya adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang dianggap salah menjadi pemahaman maupun cara berpikir yang normal,” kata staf pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, Drs. Muhadi Sugiono, M.A., dalam Seminar Terorisme dan Radikalisme 10 tahun Pasca Serangan 11 September: Keberhasilan dan Tantangan, yang digelar di UC UGM, Senin (28/2).
Muhadi mengatakan di samping deradikalisasi, strategi lain untuk memerangi terorisme adalah dengan hard approach (perang melawan terorisme). Perang melawan terorisme memenuhi tuntutan emosional untuk bertindak cepat dan menekankan pada hukuman bagi para pelaku serangan. Sayangnya, kedua pemahaman yang berkembang pascaserangan 11 September tidak dibangun melalui kajian yang komprehensif dan kritis sehingga masih dapat diperdebatkan. “Perang melawan terorisme, misalnya, salah memahami terorisme sebagai mata-mata perang. Sementara deradikalisasi cenderung mengabaikan realitas bahwa terorisme pada dasarnya bukanlah individu-individu yang salah memahami atau menafsirkan ajaran,” kata Muhadi yang juga Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM ini.
Berangkat dari persoalan itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk menghasilkan bangun pengetahuan yang lebih kritis dan objektif serta tidak berorientasi pada kebutuhan pembuatan kebijakan jangka pendek ataupun kebutuhan untuk merespon peristiwa/fenomena sesaat, tetapi berorientasi pada pengembangan konsep dan teorisasi untuk pemahaman mengenai terorisme yang lebih baik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menjelaskan dari berbagai hasil penelitian hingga kunjungan ke beberapa negara, ia melihat terorisme tidak ada hubungannya dengan Islam, apalagi pesantren. Hanya saja, ancaman bahaya terorisme bukanlah isapan jempol belaka. “Ancaman itu bukan pesanan Amerika dan sekutunya seperti yang sering dituduhkan berbagai kalangan,” kata Huda.
Untuk itu, menurutnya penangkapan tanpa tindakan represif dari pihak aparat negara juga sangat penting karena penangkapan para tersangka teroris yang cenderung berpola: ‘terorizing terrorist’ (meneror teroris) seperti penggrebekan 17 jam atas tersangka tindak pidana terorisme, Boim, mantan floris hotel Ritz Carlton di Temangung, penembakan Dulmatin di sebuah warnet di wilayah Pamulang, dan penembakan dua tersangka tindak pidana terorisme di Cawang adalah sebuah strategi yang kontra produktif. “Justru bagi kalangan aktivis HAM tindakan tersebut melanggar HAM, maka yang penting penanganan terorisme di Indonesia mesti dilakukan dengan menjadikan potensi orang-orang yang dianggap radikal turut membangun tanah air tempat kelahiran mereka,” ujar Huda.
Di tempat yang sama, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., menyebutkan masih ada tantangan dalam penanggulangan terorisme, yakni jaringan terorisme yang sudah masuk ke berbagai negara. Selain itu, jaringan juga telah mengakar dengan pola rekrutmen yang sistematis. “Ini masih ditambah wawasan kebangsaan yang masih lemah sehingga belum mampu menjadi benteng yang kokoh untuk menanggulangi paham teroris,” ujar Irfan.
Khusus deradikalisasi, terang Irfan, strategi yang sejauh ini telah dilakukan, antara lain, adalah kampanye antiterorisme dan gerakan-gerakan radikal. Di samping itu, masuk ke dalam dunia pendidikan, termasuk pengayaan kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. (Humas UGM/Satria AN)