YOGYAKARTA – Indeks pembangunan manusia ataupun pendapatan per kapita tidak menjadi jaminan tidak terjadinya gejolak politik. Negara-negara Timur Tengah, seperti Libya, Arab Saudi, dan Iran tergolong negara kaya, tetapi tetap saja bergejolak karena tidak ada kebebasan dan demokrasi. “Gejolak terjadi karena benar-benar tak ada rasa keadilan, ditambah dengan krisis ekonomi. Kebebasan juga terpasung. Hak asasi manusia pun sering dilanggar,” ujar Dr. Nasir Tamara, D.E.A., D.E.S.S., dalam kuliah umum ‘Islam dan Demokrasi: Memahami Revolusi Timur Tengah’ di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (1/3).
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) ini juga mengatakan revolusi di Timur Tengah dipelopori oleh kaum muda, bukan atas inisiatif partai politik tertentu. Keberadaan media juga mempercepat revolusi tersebut, terutama media jejaring sosial facebook dan twitter. “Namun, media baru tersebut tidak menghilangkan media lama, cetak maupun elektronik. Mereka hanya melengkapi,” ujar Nasir yang pernah berprofesi sebagai wartawan itu.
Jadi, revolusi di Timur Tengah boleh dikatakan tanpa ideologi, tanpa pemimpin dan organisasi. Revolusi murni digerakkan oleh kalangan muda yang kurang puas dengan kehidupan mereka. “Di Mesir, misalnya, jumlah pengangguran lulusan sarjana lebih besar ketimbang pengangguran lulusan sekolah dasar,” katanya.
Sebanyak 30 persen penduduk Mesir adalah usia produktif, 15 – 29 tahun. Dari jumlah itu, 25 persennya adalah pengangguran. “Kondisi itu pula yang kemudian ikut menyalakan revolusi di sana,” ujar Nasir kemudian.
Selain itu, gejolak di Timur Tengah merupakan reaksi dari kekerasan atas nama pembangunan yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa beberapa puluh tahun belakangan. Selama berkuasa, rezim di beberapa negara Timur Tengah selalu melakukan kebijakan-kebijakan dengan mengatasnamakan stabilitas politik dan pada saat yang sama melakukan sensor terhadap informasi. “Selama puluhan tahun pula mereka memonopoli kekuasaan, terbatas hanya untuk kalangan elit atau lingkup keluarga para penguasa itu,” imbuh Nasir.
Nasir berpendapat bahwa Indonesia memiliki peran penting untuk kembali menjadi pemimpin negara-negara Timur Tengah, seperti halnya pernah dilakukan oleh mantan Presiden Soekarno, yang dijadikan sebagai tokoh Gerakan Nonblok. “Sebagai negara muslim terbesar di dunia dan pengalaman menghadapi gejolak politik tahun 97 98 dan mempertahankan keutuhan negara meski beberapa kali ganti presiden, perlu menjadi contoh bagi negara Arab,” katanya.
Yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah menerjemahkan hasil pemikiran-pemikiran dari para pemikir Indonesia di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ke dalam bahasa Arab. Bukan sebaliknya, saat ini Indonesia kebanjiran buku-buku hasil pemikiran kalangan pemikir Timur Tengah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)