YOGYAKARTA- Dalam proses pembelajaran, kurikulum merupakan syarat awal karena keberadaannya tersebut proses pembelajaran dilangsungkan atau dengan kata lain, kurikulum sebagai rangkaian kegiatan belajar mengajar yang dirancang sebagai panduan kegiatan perkuliahan haruslah diformulasikan pada setiap program studi. Kurikulum tidak menyangkut pada konsep proses pembelajaran saja tetapi juga mencakup proses pembelajaran.
“Dengan kata lain, kurikulum merupakan suatu kesatuan teori dan praktek dan kesatuan teori serta praktek dalam proses pembelajaran ini disesuaikan dengan disiplin ilmu yang ditawarkan oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang termasuk dalam ilmu-ilmu humaniora,” papar Dekan FIB UGM, Dr.Ida Rochani Adi, S.U., dalam pidato kunci Seminar Nasional Pembelajaran Humaniora:Sinergi Antara Dunia Akademis dan Kepentingan Masyarakat, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Kamis (3/3). Seminar ini merupakan salah satu rangkaian Dies ke-65 FIB UGM.
Ilmu-ilmu humaniora, tambah Ida, dipahami sebagai ilmu yang bertujuan memahami aspek-aspek yang mendasari kemanusiaan itu sendiri, baik aspek sosial, budaya, spiritual, ataupun estetika. Dengan cakupannya yang luas tersebut seharusnyalah ilmu humaniora sangat dapat compatible dengan perkembangan apapun di masyarakat karena kajiannya menyangkut manusia yang selalu berubah.
“Maka ketika merancang pembelajaran ilmu humaniora, dua hal yang ditekankan adalah tingkatan kompetensi yang diharapkan dan keluaran/outcome yang diharapkan,” papar Ida.
Ida menegaskan bahwa untuk merancang kurikulum dalam konteks humaniora tidaklah sesederhana merancang kurikulum di fakultas teknik karena aspek humaniora menuntut kita tidak hanya mentransfer pengetahuan saja tetapi juga sekaligus mendorong mereka membentuk pribadi yang lebih baik dengan menonjolkan aspek kamanusiaannya. Dengan demikian, mahasiswa nantinya tidak hanya mampu dan terampil tetapi termotivasi menjadi orang yang menonjolkan aspek kemanusiaan.
“Disini dosen lah yang harus pandai-pandai berperan agar nantinya mahasiswa menjadi manusia yang baik dan berguna di masyarakat,” urai Ida.
Pembicara lain Hajriyanto Y.Thohari, Wakil Ketua MPR RI yang juga alumnus Sastra Arab 1984 memaparkan tanpa seni dan tanpa humaniora, politik akan dipandang bukan sebagai permainan yang cantik dan enak dinikmati, melainkan hanya kekuasaan semata. Akibatnya politik yang semacam ini akan cenderung kasar dan menghalalkan segala macam cara agar bisa berkuasa.
Di kancah perpolitikan saat ini menurut Hajriyanto ilmu humaniora perlu menyumbangkan gagasan untuk mengembangkan perpolitikan nasional yang lebih memandang sebagai panggilan hidup, bukan profesi, apalagi ladang pencarian pekerjaan yang menyediakan imbalan materi saja.
“Konsep dalam ilmu humaniora perlu ditransformasikan dan diaktualisasikan dalam perpolitikan. Konsep kearifan semacam asketisme mungkin cocok dipergunakan untuk situasi sekarang ini,” jelas Hajriyanto.
Di sisi lain, Binny Bintarti Buchory, B.A.,S.S., M.Lib aktifis dari Perkumpulan Prakarsa dalam kesempatan itu menyatakan ilmu humaniora tidak akan memberikan solusi praktis atas berbagai persoalan. Pembelajaran humaniora memberikan kepekaan, kesadaran, kemampuan untuk menggali lebih jauh tentang keadilan, kesetaraan dan kepatutan.
Ia mencontohkan karya sastra yang telah memberikan inspirasi atas lahirnya kesadaran sosial, seperti Uncle Tom’s Cabin dan The Adventure of Huckleberry Finn mengenai perbudakan, karya Jane Austen yang terkait dengan peran perempuan dalam sistem patriarki, dan Nadine Gordimer tentang kekejaman sistem apartheid.
“Jadi bagaimana nantinya ilmu humaniora itu bisa bersama-sama ilmu lain mempengaruhi penyusunan berbagai kebijakan,” kata Binny.
Selain Hajriyanto dan Binny, hadir pula sebagai pembicara dalam seminar tersebut Drs.Seno Samodra (Bupati Boyolali), serta Drs.M.Wahid Supriyadi (Dubes RI untuk UEA)(Humas UGM/Satria AN)