Tahun 2008 mendatang genap 100 tahun momen kebangkitan nasional, sekaligus 80 tahun sumpah pemuda. Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara resultatif, 2008 seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru.
“Tahun 2008 sebagai 100 tahun kebangkitan nasional, setidaknya mampu tampil sekelompok pemuda pembebas yang tercerahkan. Tampil menginspirasi dan memberi kekuatan bangsa ini untuk meretas segala kemungkinan dan ketakmungkinan yang di suguhkan oleh cawan zaman globalisasi yang terus menggelegak dan berubah cepat,†ungkap Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pemicara kunci dalam Kongres dan Seminar Nasional ‘Menggagas Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia yang Lebih Baik’, Kamis (22/11) di Gedung Univercity Centre UGM.
Menurut Sultan, jika kebangkitan nasional 1908 ditetaskan di tengah-tengah cengkeraman penjajahan, maka tantangan dan peluang bagi momen kebangkitan nasional 2008 hampir sama sekaligus berbeda.
“Sama-sama dalam cengkeraman penjajahan, tetapi berbeda motif, modus dan gaya penjajahan. Bukan lagi mengokupasi wilayah secara fisik dan langsung. Tetapi mengontrol melalu jejaring ekonomi global, melalui sketsa politik internasional, melalui gurita informasi, dan melalui destruksi moral generasi. Pelakunya bukan lagi Portugis atau Belanda, tetapi konsorsium-konsorsium global beranggotakan lintas negara dan lintas benua,†tuturnya.
Bagi Sultan, pemuda adalah nafas zaman, tumpuan masa depan bangsa yang kaya kritik, imajinasi, serta peran dalam setiap peristiwa yang terjadi di tengah perubahan masyarakat.
Namun demikian, Sultan pun sedikit mengkritisi kebiasaan pemuda yang masih sering berkumpul dan berbicara tentang perumusan peran mereka untuk bangsa, tetapi sesungguhnya yang dibicarakan hanyalah bagaimana mereka bisa mendapatkan peluang dan menggantungkan diri kepada generasi tua yang mapan.
“Akhirnya yang muncul adalah kader karbitan,†imbuh Sultan.
Dirinya mengharapkan generasi muda mengikuti alur sejarah continuity and change, dimana peran kesejahteraan generasi muda sekarang harus melintasi tiga zaman sekaligus, masa lalu, masa kini dan masa depan, yakni perpaduan historis, kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik yang membentuk segitiga utuh.
Sri Sultan juga sependapat bahwa adanya tuntutan para pemuda yang menginginkan agar kaum muda mulai mengambil alih kepemimpinan. Menurutnya, tuntutan dan seruan ini tampaknya relevan, mengingat kegagalan reformasi yang dulu justru digerakkan oleh pemuda.
“Hiruk pikuk tuntutan tentang pentingnya kaum muda diberi peran politik lebih besar seharusnya tidak hanya menuntut dilakukan regenerasi tetapi juga mengangkat konsep perubahan seperti yang diusung,†tegasnya
Selain itu, Sultan juga menyoroti bahwa sosok keteladanan masih menjadi figur utama yang diperlukan oleh bangsa Indonesia karena generasi muda kini tengah mengalami kesulitan iuntuk mencari seorang figur yang dapat mereka teladani.
Sementara itu, Direktur Kemahasiswaan UGM Drs Hariyanto, M.Si dalam sambutannya mengharapkan agar hasil seminar ini memberikan kontribusi nyata untuk masayarakat luas.
“Hasil seminar biasanya macet pada wacana dan pembicaraan. Membicarakan orang-orang miskin di hotel-hotel mewah, pulang seminar lalu tanda tangan, orang miskin tetap miskin. Saya harap, apa yang didapatkan dari kegiatan ini harus ada kelanjutannya,†pesannya.
Sedangkan Binta Lulus Pradipta selaku ketua Korp Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (Komap) Isipol UGM sekaligus menjadi ketua panitia Kongres Nasional melaporkan bahwa sekitar 139 mahasiswa jurusan ilmu pemerintahan yang berasal dari 43 universitas se-indonesia ikut hadir mengikuti kegiatan selama 21-26 Nopember 2007.
“Sampai saat ini tercatat 139 mahasiswa dari 43 universitas seluruh indonesia yang ikut berpartisipasi,†ujarnya.
Menurutnya, forum seperti ini perlu digalakkan kembali untuk meningkatkan kemampuan dan daya pikir kritis para mahasiswa, menambah pengetahuan dan wacana politik. (Humas UGM)