Obat-obat desainer (designer drugs) akhir-akhir ini diproduksi lebih cepat dan dalam jumlah besar. Obat-obat ini biasanya diproduksi dengan memodifikasi struktur molekul dari senyawa ilegal sehingga memiliki efek serupa dan mampu lolos dari pengawasan. Sementara itu, cara pembuatannya dapat tersebar melalui internet. Di Eropa, sebanyak 16 obat desainer baru telah dikontrol, sedangkan di Jepang angka ini mencapai 51. “Mengingat risiko kesehatan akibat obat desainer, International Narcotics Control Board (INCB) mendesak pemerintah untuk mengadopsi langkah-langkah pengendalian untuk pembuatan, perdagangan, dan penyalahgunaan obat-obat desainer ini,” ujar Dr. Sri Suryawati di Fakultas Kedokteran UGM, Kamis (3/3), menanggapi designer drugs sebagai ancaman baru.
Sebagai Second Vice President and Chair of Standing Committee on Estimates INCB, Sri Suryawati juga mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pencegahan korupsi. Dalam pandangan INCB, korupsi menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya perdagangan narkoba. “Bukan menjadi rahasia, keuntungan besar diraup dari pasar narkotika seringkali jauh melebihi sumber daya keuangan milik negara,” tuturnya.
Menurut Sri Suryawati, dalam banyak kasus organisasi kriminal dengan kerajaan perdagangan narkoba menjadi kekuatan politik yang memiliki wewenang mirip dengan institusi resmi. Sebab institusi atau pejabat yang semestinya berwenang mengendalikan dan menekan perdagangan narkoba telah dilemahkan oleh korupsi. “Tak jarang, polisi dan penegak hukum seringkali menghadapi tekanan yang kuat dari kejahatan teroganisir ketika menjalankan tugas menghentikan perdagangan narkoba,” tuturnya.
Ironis memang, sebab narkotika dan psikotropika legal yang mestinya dibutuhkan untuk medis justru tidak tersedia di seluruh dunia. Data menyebut lebih dari 80% populasi dunia hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali terhadap obat-obat pereda nyeri. “Jika 90% obat yang beredar di pasar dikonsumsi negara-negara barat. Maka banyak negara di Afrika, Asia dan benua Amerika justru hanya memiliki sedikit akses atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali, padahal obat-obat narkotika yang mereka butuhkan untuk tujuan medis,” katanya.
Di samping kurangnya pendidikan di kalangan profesi medis, Suryawati menuding hambatan regulasi juga menjadi salah satu faktor penyebab beberapa negara kesulitan mendapatkan obat narkotika untuk tujuan medis. Hambatan lain berupa kesulitan distribusi dan tidak ada kebijakan kesehatan yang komprehensif. “Karenanya INCB mendesak pemerintah untuk mengambil langkah, dengan mengumpulkan data statistik tentang kebutuhan medis obat narkotika, menyediakan peraturan distribusi kepada pasien, dan meningkatkan training untuk staf pelayanan kesehatan,” pungkas dosen FK UGM ini. (Humas UGM/ Agung)