YOGYAKARTA-Puncak peringatan Dies Natalis ke-65 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM hari ini, Kamis (3/3) selain orasi ilmiah oleh P.M.Laksono di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), juga digelar festival internasional budaya dan kuliner di kampus FIB. Sedikitnya terdapat 18 stand makanan dan minuman disajikan dalam festival kuliner tersebut baik oleh mahasiswa FIB maupun asing yang kuliah di sana.
Koordinator acara, Abdul Jawat Nur, S.S., M.Hum. memaparkan acara ini adalah sebagai bukti nyata keberadaan UGM di Yogyakarta sebagai miniatur dunia dan mengedepankan pluralisme.
“Tentu ini untuk lebih memperkenalkan Yogyakarta khususnya UGM sebagai miniatur dunia dengan pluralismenya,” terang Jawat di kampus FIB.
Peserta yang mengikuti festival internasional budaya dan kuliner tersebut, kata Jawat, antara lain dari Sastra Asia Barat, Sastra Nusantara, Antropologi, Sastra Roman, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Pariwisata, Sejarah, Sastra Jepang, INCULS dan Relief CRCS. Beberapa jenis kuliner yang ditampilkan seperti nasi bukhori, samosa, kopi Arab, makanan Spanyol, salad, pancake, Takoyaki, makanan Perancis serta China.
Sedangkan untuk pertunjukkan budaya ditampilkan lagu Arab, tari Saman, tari Indang, puisi dan musikalisasi, akustik musik, dan Gladiator Gunung dengan menampilkan grup Wargo Budoyo Merbabu.
“Tahun sebelumnya kita sajikan kesenian tradisional Ndolalak. Dan ini nanti akan rutin digelar setiap tahun,” kata dosen jurusan Sastra Asia Barat tersebut.
Pertunjukkan Gladiator Gunung atau tari Topeng Ireng ini yang paling banyak menyedot perhatian pengunjung, baik mahasiswa, dosen maupun karyawan di kampus FIB dan sekitarnya. Pertunjukkan yang mengambil lokasi di halaman R.M. Margono Djojohadikusumo FIB UGM ini merupakan kolaborasi dari tiga jenis kesenian dari lereng Gunung Merbabu, khususnya Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Tiga jenis kesenian tersebut adalah Soreng, Warok Bocah, dan Gupolo Gunung. Istilah gladiator sendiri diambil dari bahasa latin yang artinya pembawa pedang atau orang yang bertarung, sehingga dipinjam untuk menggambarkan kolaborasi ketiga kesenian ini yang secra garis besar maknanya adalah prajurit yang sedang latihan perang.
Soreng sendiri adalah sebutan para prajurit dari Aryo Penangsang yang sedang latihan perang, kemudian warok bocah juga para bergada yang sedang berlatih perang namun kali ini dibawakan oleh anak-anak antara 5-12 tahun sehingga menambah daya tarik tersendiri. Kemudian yang terakhir adalah Gupolo Gunung ini adalah merupakan simbol dari para penjaga Gunung Merbabu yang berkumpul untuk menjaga gunung dari segala ancaman mara bahaya.
Ketiga kesenian tersebut digabungkan dengan irama yang menghentak, kostum yang bervariasi, gerak yang dinamis maka akan menjadikan sebuah pertunjukkan yang menghibur (Humas UGM/Satria AN)