Berkat inovasinya memanfaatkan ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) untuk menghambat virus flu burung/Avian Influensa (AI) H5N1, Artina Prastiwi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, terpilih menjadi juara pertama dalam kompetisi Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Paper Challenge (MPC) 2011 yang dilangsungkan 29 Januari silam. Sementara itu, posisi kedua diraih oleh mahasiswa Universitas Airlangga dan diikuti tim Universitas Indonesia di peringkat ketiga.
Artina Prastiwi, mahasiswa angkatan 2007 ini meraih juara I setelah mengajukan serangkaian penelitian yang tertuang dalam paper ilmiah berjudul “Uji Aktivitas Antiviral Infus Ekstrak Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa) In Ovo dalam Penghambatan Replikasi Virus H5n1 Sebagai Vaksin Organik Pioner di Asiaâ€. Ia berhasil menyisihkan 96 paper lain dari seluruh Indonesia.
Sebagai calon dokter hewan, Artina mengaku gelisah dengan fenomena penyebaran virus AI di Indonesia yang telah memakan cukup banyak korban. Ia memahami betul orang yang bersinggungan langsung dengan unggas akan rentan terserang virus ini. Ia cemas terhadap nasib para peternak yang tidak saja mengalami kerugian materi akibat serangan virus mematikan ini, tetapi juga keselamatan jiwa mereka yang terancam. Meskipun peternak mengetahui risiko yang timbul, mereka jarang memvaksin untuk menangkal virus AI kepada unggasnya. “Banyak peternak yang tidak memvaksin unggasnya karena harga vaksin kimia AI di pasaran cukup mahal. Harganya dipatok 200 ribu rupiah untuk 100 dosis,†ujarnya.
Berawal dari kenyataan itu, gadis berjilbab ini berupaya mencari solusi untuk mengatasi persoalan yang meresahkan tersebut. Ia memanfaatkan buah mahkota dewa, potensi lokal Indonesia, yang secara ilmiah telah terbukti mampu meningkatkan daya tahan tubuh sebagai antivirus AI. Kandungan saponin dalam buah mahkota dewa bermanfaat selain dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan vitalitas juga bisa dimanfaatkan sebagai anti bakteri dan anti virus.
Untuk mendapatkan senyawa saponin, Artina mengekstrak buah mahkota dewa melalui penyulingan. Cara membuat antivirus dari ekstrak mahkota dewa ini diawali dengan penimbangan sesuai dosis yang dibutuhkan. Untuk dosis 10 ml, diperlukan buah mahkota dewa kering 100 gram per 100 ml air atau kelipatannya, yakni 100 gram per 1000 ml. “Selanjutnya, dilakukan penyulingan untuk mendapat ekstrak,†terangnya kepada wartawan, Kamis (3/3), di Ruang Fortakgama UGM.
Setelah mendapat ekstrak, Artina melakukan pengujian kadar saponin 10 ml di LPPT UGM. Menurutnya, ekstrak mahkota dewa harus mengandung kadar saponin 10 persen. Hasil saponin yang diperoleh inilah yang digunakan sebagai bahan baku, yakni sebagai pelarut suspense antigen virus AI. Lalu yang digunakan sebagai vaksin adalah ekstrak mahkota dewa 0,2 ml.
Pada mulanya, dituturkan Artina, uji coba dilakukan pada 30 butir telur ayam berembrio. Dari hasil uji tersebut diketahui telur yang diberi virus AI dan diberi tambahan saponin 10 persen dari ekstrak buah mahkota dewa 0,2 ml setelah diinkubasi selama 35 hari diketahui embrio tidak mati, sehat, dan tanpa bekas luka. Sementara itu, telur yang disuntik dosis yang lebih tinggi 15 persen dan 20 persen, ternyata semua embrio mati dengan bentuk perdarahan seluruh tubuh, kekerdilan, dan cairan alantois keruh. “Sepuluh persen merupakan hasil terbaik untuk menghambat virus flu burung. Ini membuktikan bahwa kadar saponin yang digunakan harus tepat sebab bisa menimbulkan keracunan jika diberikan dalam dosis besar,†jelasnya.
Setelah teruji aman pada telur, putri pasangan Sugita dan Wartinah ini mengujikan pada ayam berusia kurang dari 21 hari dan hasilnya cukup menggembirakan. Ayam yang telah divaksin tidak satu pun mengalami kematian.
Dikatakan gadis kelahiran Gunung Kidul, 26 Januari 1989 ini, vaksin yang dikembangkannya terbukti mampu menghambat perkembangan virus AI hingga 87 persen. Selain telah teruji dalam skala laboratorium mampu menghambat virus AI, vaksin ini juga lebih murah dibandingkan dengan vaksin kimia yang dijual di pasaran. Vaksin AI di pasaran biasanya dibandrol 200 ribu rupiah per 100 dosisnya. Sementara itu, vaksin buatannya 75 ribu rupiah per 100 dosis. Meskipun terbilang efektif dan murah, vaksin ini belum dipasarkan secara massal. “Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti hasilnya,†ungkap alumnus SMA 1 Wonosari ini.
Hasil penelitian ini menurut rencana juga akan dipresentasikan dalam seminar internasional yang digelar AMSTECS di Jepang pada 19-20 Maret mendatang. (Humas UGM/Ika)