YOGYAKARTA – Indonesia dipastikan kehilangan devisa sebesar 100 triliun rupiah setiap tahun akibat banyaknya masyarakat yang berobat ke luar negeri. Masyarakat masih mempercayai dan menganggap berobat ke rumah sakit luar negeri jauh lebih baik kualitasnya daripada di dalam negeri. “Nilai devisa kita yang keluar menurut data World Bank tahun 2004 sekitar 70 triliun. Kalau data itu benar, maka dipastikan saat ini bisa lebih 100 triliun rupiah per tahun,” kata Dirjen Bina Upaya Kementerian Kesehatan RI, dr. Supriyantoro, Sp.P., M.A.R.S., usai mengikuti seminar Annual Scientific Meeting di Auditorium Fakultas Kedokteran, Kamis (3/3).
Dikatakan Supriyantoro, kebanyakan masyarakat Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri mempercayai kualitas pengobatan di luar negeri jauh lebih baik dibandingkan dengan di rumah sakit di dalam negeri. Mutu pengobatan di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, di negeri ini mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien masih lemah. “Bukan dari pengobatan kita yang jelek. Namun, bagaimana pelayanan yang ada menjadi lebih baik,” katanya.
Beberapa cara sudah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan standar mutu pelayanan kesehatan untuk diterapkan di masing-masing rumah sakit, salah satunya adalah penerapan sertifikat akreditasi standar internasional. Namun, dari 1.500-an jumlah rumah sakit di Indonesia, baru empat yang sudah memiliki kualitas standar internasional, salah satunya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Sehubungan dengan banyak rumah sakit yang menggunakan nama atau label internasional, Supriyantoro menegaskan pihaknya akan menertibkan rumah sakit yang masih menggunakan nama internasonal. “Tidak ada lagi rumah sakit yang gunakan nama internasional supaya pasien tidak tertipu. Jika memang terakreditasi, itu pun harus sebutkan asal lembaga yang melakukan akreditasi dan berlaku sampai kapan,” katanya.
Terutama untuk peningkatkan pelayanan dan keselamatan pasien, Supriyantoro menginginkan antar rumah sakit tidak saling berkompetisi, tetapi membangun koopetisi atau kerja sama. “Tidak ada lagi jor-joran alat kesehatan dan sebagianya, tapi bagaimana memberikan mutu pelayanan yang baik bagi pasien,” tambahnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., mengutip laporan Institute of Medicine (IOM) bahwa setiap tahun, hampir 100 ribu orang meninggal dunia di rumah sakit Amerika Serkita akibat medical error. “Pelayanan kesehatan ternyata tidak sempurna, korban-korban pun tetap berjatuhan akibat kelalaian medik, kecerobohan, dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada,” katanya.
Di tanah air, dalam lima tahun terakhir, laporan mengenai malpraktik justru semakin marak dimuat di berbagai media cetak dan eletronik. Karena itu, Ghufron mengatakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di tanah air perlu melakukan introspeksi dan sekaligus mengembangkan upaya pencegahan dan mengantisipasi terjadinya medical error. (Humas UGM/Gusti Grehenson)