YOGYAKARTA – Setiap orang mempunyai identitas untuk membedakannya dari orang lain. Identitas individu mempunyai aspek hukum, sebagai contoh orang meningggal akibat kriminal harus ditentukan identitasnya untuk keperluan pembayaran asuransi, warisan, hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Ada beberapa metode identifikasi yang dialakuan, antara lain pengenalan visual, pengenalan barang milik pribadi, sidik jari, karakteristik gigi hingga DNA. Diantara metoda itu, metoda sidik jari, DNA dan karakteristik gigi mempunyai validitas individu yang tinggi.
Terutama metoda karateristik gigi diketahui sangat membantu dalam identifikasi korban bencana atau Disaster Victim Identification (DVI). Salah satunya, identifikasi korban bencana erupsi merapi 2010 lalu. Meski sebagian besar korban hangus terbakar terkena awan panas dengan suhu mencapai 600 derajat celcius. Namun karena gigi terlindung oleh pipi dan bibir, morfologi gigi masih tetap utuh sehingga bisa untuk digunakan sebagai bahan identifikasi para korban.
“Bidang kedokteran gigi forensik sangat penting dalam mengidentifikasi individu pada peristiwa bencana massal, karena terbukti lebih dari 59 persen identifikasi diperoleh dari keadaan gigi dan mulut,” kata pakar dokter gigi forensik dari Universitas Padjajaran Prof. Dr. drg. Rachman Ardan di seminar ilmiah ‘Smart Dentistry 2011’ dalam rangka perayaam Dies Natalis ke-63 Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM, Kamis (3/3).
Identifikasi karakterisik gigi dengan cara menetapkan karakteristik unik gigi seorang individu dengan membandingkan data pasca kematian dan data prakematian. Namun demikian, karena masih minimnya masyarakat yang melakukan perawatan gigi menyebabkan sering menjadi kedala dokter gigi forensik untuk melakukan identifikasi. “Sebagai besar penduduk kita masih enggan melakukan perawatan gigi,” tukasnya.
Pendapat yang sama disampaikan ahli Ilmu kedokteran gigi forensik UGM, drg. Sara Afari Gadro, M.Kes yang menyampaikan bahwa data identifikasi gigi sangat membantu dalam melakukan proses identifikasi korban erupsi merapi. Saat terjadi erupsi pada 27 oktober, 25 korban meninggal berhasil diidentifikasi. Namun saat erupsi kedua terjadi awal November, 103 korban yang mendapat proses identifikasi, hanya 59 korban yang bisa teridentifikasi secara utuh. “Karena letusan kedua lebih dahsyat, menyebabkan banyak badan korban terfragmentasi dan destruktif sehingga sulit diidentifikasi,” katanya.
Meski sudah menggunakan identifikasi gigi, namun karena masih minimnya data prakematian tentang karakteristik gigi menyebabkan mengalami kesulitan. “Sebagain besar tidak ada data premortem( prakematian) yang hanya data postmortem (pasca kematian),” katanya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Afari menilai penting bagi dokter gigi atau petugas kesehatan untuk melakukan pencatatan rekam medis seseorang saat masih hidup bahkan termasuk dental record, agar suatu saat bisa untuk membantu dalam kegiatan identifikasi.
Kasubbid Kespol POLDA RIAU drg. Hadi Widjanarko menuturkan kemiripan bentuk gigi seseorang hampir mirip dengan gigi 2 juta orang lainnya. Sehingga hasil data perawatan gigi saat masih hidup cukup penting. Bahkan, di kepolisian, identifikasi gigi merupakan salah satu metoda identifikasi primer selain dengan alat bantu sidik jari dan tes DNA. “Identifikasi gigi sangat membantu proses penyidikan dan hasil keputusan dari tim forensik gigi bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)