Ayam lokal semakin terdesak oleh perkembangan kota. Meski begitu, ia dapat diselamatkan bila sistem pemeliharaan diperbaiki dan kemampuan genetik reproduksi dan produksi ditingkatkan. Perbaikan sistem pemeliharaan ini tentu meningkatkan biaya produksi. Dengan modal terbatas yang dimiliki, kondisi ini tentu menjadi kendala bagi masyarakat petani. “Sebab pemeliharaan semi-intensif selalu diikuti dengan perbaikan kandang dan pakan dengan penambahan biaya 60% dan pemeliharaan intensif yang dilakukan setara dengan penambahan biaya 100%,” kata Prof. Dr. Ir. Jafendi Hasoloan Purba Sidalolog, di Balai Senat (3/3) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.
Menurut Jafendi Hasoloan, penambahan biaya semacam ini jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi telur dan daging akan menyebabkan kerugian bagi petani. Melalui cara-cara tradisional, para petani hanya mengeluarkan biaya pemeliharaan yang sangat kecil. “Bahkan untuk biaya kandang, pakan, dan manajemen hampir tidak ada sebab ayam mencari makan sendiri sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih besar,” tutur pria kelahiran Pematangsiantar, 26 Oktober 1947 ini.
Jafendi menjelaskan pemeliharaan ayam secara tradisional dikarakteristikkan dengan pemeliharaan sangat sederhana yang diumbar di pekarangan dengan pakan berasal dari sisa-sisa dapur sehingga mengakibatkan produksi rendah. Namun, pemeliharaan ayam kampung kini telah banyak mengalami perbaikan, terutama faktor lingkungan, meliputi sistem kandang, pakan, dan manajemen sehingga produksi telur dapat meningkat.
Hingga saat ini, menurut Jafendi, belum banyak dilakukan penelitian tentang sifat genetik produksi, seperti sifat mengeram, umur dewasa kelamin, intensitas, dan persistensi produksi serta periode penelusuran. “Padahal sifat genetik ini dapat diatasi melalui program breeding dan seleksi yang tepat dan terarah. Sifat genetik pertumbuhan dan produksi telur ayam lokal yang rendah dapat dilihat dari variabilitas yang tinggi 20-30%,” katanya.
Penyebaran ayam lokal di Indonesia merata di setiap daerah dan beberapa di antaranya memiliki ayam lokal unggulan, seperti ayam merawang di Sumatra Selatan, nunukan dan tukong di Kalimantan, serta kedu hitam, kedu putih, dan cemani di Jawa Tengah. Kemudian, ada ayam pelung, sentul, wareng, dan jantur di Jawa Barat, kalosi dan tolaki di Sulawesi, serta ayam ayunai di Papua. Di luar itu, Indonesia juga mengembangkan ayam dari luar, seperti ayam arab perak dan arab emas, yang merupakan pengembangan dari ayam arab. “Di samping itu, masih ada ayam lokal yang memiliki sifat khusus, seperti ayam legund dan ayam walik,” .
Dalam pidato berjudul “Pemuliaan sebagai Sarana Pelestarian dan Pengembangan Ayam Lokal”, Jafendi Hasoloan mengatakan pemeliharaan cara-cara tradisional hanya mampu menghasilkan telur lebih kurang 60 butir per tahun, dengan berat badan umur 20 minggu mencapai 1,2 kg. Sementara itu, dengan pemeliharaan semi-intensif dan intensif mampu meningkatkan produksi telur mencapai sekitar 150 butir per tahun dan berat badan 1,75 kg pada umur 20 minggu. (Humas UGM/ Agung)