Berbagai tindak kekerasan yang mendera TKI selama beberapa tahun terakhir memunculkan keprihatinan yang cukup mendalam bagi semua pihak. Tindak kekerasan yang dialami para TKI terjadi secara berulang dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, negara belum menunjukkan perlindungan secara tegas dan pasti terhadap TKI.
Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, menyebutkan penghentian pengiriman TKI di sektor yang tidak jelas perlindungan hukumnya merupakan salah satu langkah untuk meminimalisasi terjadinya tindak kekerasan yang dialami TKI/TKW. “Stop pengiriman TKI di sektor yang tidak jelas perlindungan hukumnya untuk menekan terjadinya tindak kekerasan yang dialami pekerja kita. Apabila tetap ingin mengirimkan, hendaknya diseleksi pekerjaan yang lebih aman,†katanya saat jumpa pers pemaparan hasil lokakarya “Menyikapi Kondisi Rentan TKW di Luar Negeriâ€, Senin (7/3), di Ruang Majelis Guru Besar UGM.
Menurutnya, pemerintah tak hanya harus selektif dalam memilih bidang pekerjaan yang tidak rentan, tetapi juga dalam tujuan pengiriman TKI. Pemerintah dapat mengirimkan TKI ke negara yang secara jelas mempunyai undang-undang yang memberikan perlindungan pada tenaga kerja dan negara dengan paparan angka kekerasan terhadap TKI yang rendah. “Pemerintah harus selektif dalam mengirimkan TKI. Selektif bukan terhadap tenaga kerja yang dikirim, namun pada negara yang akan dijadikan tujuan pengiriman untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan,†tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan Muhadjir, beberapa negara, seperti Hongkong, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, merupakan negara-negara yang aman sebagai tujuan pengiriman TKI. Sejumlah negara tersebut diketahui sedikit terjadi tindak kekerasan terhadap TKI, selain itu juga telah mempunyai undang-undang buruh internasional yang secara pasti mengatur tentang pemenuhan hak dan perlindungan bagi tenaga kerja asing. Sementara itu, sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Singapura merupakan negara yang masih rendah dalam perlindungan hukum bagi TKI. “Negara harus tegas untuk tidak mengirim TKI ke negara-negara yang belum memberikan perlindungan pada pekerja,†ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan Muhadjir, dalam menyikapi persoalan TKI, pemerintah lebih menekankan pada perspektif ekonomi, bukan pada hak, sosial, dan kemanusiaan. â€Cara pandang seperti inilah yang menjadikan tidak adanya solusi signifikan/tegas untuk mengatasi permasalahan TKI sehingga kejadiannya terus berulang,†imbuhnya.
Hal senada diutarakan Kepala Pusat Studi Wanita(PSW) UGM, Dra. Sri Djoharwinarlien, S.U., dalam mengirimkan TKI harus dilakukan secara selektif. Pengiriman TKI diprioritaskan ke negara yang sudah memiliki MoU dengan Indonesia atau negara yang sudah memiliki sistem perlindungan buruh migran internasional.
Permasalahan TKI berasal dari situasi ketenagakerjaan yang tidak ideal. Permasalahan ketenagakerjaan dalam negeri ini menjadikan meningkatnya volume buruh yang mengadu nasib ke luar negeri. Dengan melakukan perbaikan sistem renumerasi di dalam negeri, termasuk buruh yang bekerja di sektor informal, diharapkan mampu mengantisipasi mengalirnya pekerja informal ke luar negeri. “Kalau di dalam negeri tidak ada masalah, maka tidak akan banyak buruh yang ke luar negeri. Dengan adanya perbaikan renumerasi merupakan langkah preventif untuk mengantisipasi banyaknya buruh yang pergi ke luar negeri,†terangnya.
Menghadapi berbagai persoalan yang menimpa TKI, lanjut Djoharwinarlien, PSW UGM tahun ini berencana untuk menyelenggarakan KKN Tematik di daerah kantong TKI, seperti Gunung Kidul, Sleman, dan Bantul. KKN ini dirancang untuk mempersiapkan keterampilan, penguasaan bahasa, dan pengetahuan hukum bagi TKI/TKW. (Humas UGM/Ika)