YOGYAKARTA-Desentralisasi secara signifikan berpengaruh terhadap sektor kehutanan karena tuntutan untuk memanfaatkan hasil hutan secara lebih instan dengan sedikit mempedulikan aspek kelestariannya. Sektor kehutanan jauh kalah kompetitif dibandingkan dengan sektor perkebunan dan pertambangan. Konversi hutan menjadi perkebunan diperkirakan semakin meningkat karena pasar dunia dan komoditas pangan dan biofuel yang meningkat.
“Dengan desentralisasi ternyata cukup berpengaruh terhadap sektor kehutanan yang dimanfaatkan secara lebih instan dan tidak mempedulikan kelestarian lingkungan,†kata dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Ir. Sofyan P. Warsito, dalam lokakarya ‘Mempertanyakan Kembali tentang Peranan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan’, di Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (8/3). Hadir dalam acara yang berlangsung selama dua hari tersebut, Sekjen Kementerian Kehutanan, Dr. Ing. Hadi Daryanto, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Ir. Basah Hernowo, M.A., Deputi I Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Dr. Heru Prasetyo, dan Dr. Paul Burgers dari Utrecht University.
Sofyan mengatakan situasi serupa juga dialami oleh kawasan gambut. Indonesia merupakan negara yang memiliki areal gambut terluas di kawasan tropis. Konversi lahan gambut terutama peruntukan konsesi hutan dan perkebunan telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu emitor gas rumah kaca terbesar. “Pembentukan pemerintah daerah baru pascadesentralisasi telah membentuk banyak kabupaten yang sebagian besar kawasannya berupa lahan gambut dalam sehingga mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit,†imbuhnya.
Pada kesempatan itu Sofyan juga sempat menyinggung ekonomi telah menjadi pertimbangan utama yang mengendalikan proses tata ruang. Terdapat kecurigaan bahwa review tata ruang lebih banyak mengakomodasi kepentingan ekonomi skala besar daripada berwawasan bagi keberlanjutan.
Selain itu, perkembangan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional dari waktu ke waktu juga menunjukkan tren penurunan. Terjadinya penurunan terutama ditandai dengan adanya penurunan kondisi (degradasi) hutan, dan oleh adanya penurunan luas kawasan serta tutupan hutan yang disebabkan konversi hutan ke sektor usaha lain (terutama perkebunan dan pertambangan), baik yang berdasarkan kebijakan pemerintah maupun konversi ilegal. “Penurunan kondisi tegakan hutan, antara lain, bisa ditunjukkan dengan banyaknya unit-unit kawasan hutan bekas perusahaan logging (HPH) yang masa hak pengusahaannya telah berakhir di P. Jawa yang terlantar tanpa pengelola, maupun oleh karena tebangan tak terstruktur (atau illegal logging),†kata Sofyan.
Sementara itu, Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, dalam kesempatan itu menyinggung setelah tiga dasa warsa hutan produksi diusahakan, hampir sebagian besar areal HPH menjadi hutan bekas tebangan (HBT) dan telah atau segera memasuki siklus tebang kedua. Degradasi hutan produksi dari penafsiran citra satelit 2006, hutan bekas tebangan mencapai 45 juta ha.
Telaah strategis sektor kehutanan menunjukkan masa depan pengusahaan hutan Indonesia pada hutan tanaman dan pengelolaan HBT. Upaya untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari (PHL) sebagaimana telah dideklarasikan oleh ITTO pada tahun 1991 dan upaya sertifikasi PHL belum menampakkan hasil yang memuaskan. “Maka, untuk mengantisipasi persoalan terutama pengelolaan hutan lestari yang berbeda, yaitu mengelola kemampuan regeneratif hutan alam dengan perlakuan lebih dari satu sistem silvikultur sesuai tapaknya, â€kata Hadi Daryanto.
Dalam lokakarya ini hadir para ahli dan perwakilan multipihak yang berkompeten dan berhubungan dengan kelangsungan ekosistem hutan di Indonesia, seperti UKP4, Bapenas, IPB, Unpad, Unri, dan Unmul. Selain itu, lokakarya juga melibatkan mitra Universitas Utrecht Belanda yang tengah bekerja sama dalam riset mengenai strategi meningkatkan daya saing sektor kehutanan dalam tekanan konversi menjadi perkebunan sawit yang semakin meluas. (Humas UGM/Satria AN)