Pemerintah didesak untuk segera membuat sebuah manajemen yang komperehensif dan integratif dalam menghadapi bencana. Meskipun berulang kali dilanda bencana alam, tak lantas membuat negara cepat belajar dari pengalaman dalam menanganinya. Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian material yang dialami.
“Ada ketidakberesan dalam pengelolaan risiko bencana di masyarakat. Jatuhnya korban jiwa serta kerugian material akibat bencana mengisyaratkan adanya ketidaksiapan individual, masyarakat, maupun institusi dalam menghadapi bencana,†kata Ketua Program Studi CRCS UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, Selasa (8/3).
Menurut Bagir, saat ini pemerintah kurang membangun kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Padahal, penyiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, baik sebelum, pada saat, maupun setelah bencana, sangatlah dibutuhkan.
Pemerintah seyogianya memfokuskan diri pada penyiapan sebelum bencana. Dengan memfokuskan diri pada penyiapan sebelum bencana diharapkan mampu menekan jumlah kerugian akibat bencana. Bagir menyebutkan bencana merupakan sebuah fenomena yang kompleks, kombinasi antara risiko, kerusakan, dan kerentanan. â€Fenomena alam destruktif ini tidak akan menjadi bencana yang strategis apabila masyarakatnya memiliki kesiapan,†ujarnya.
Sementara itu, Dr. Arqom Kuswarjono, peneliti CRCS, mengungkapkan sikap masyarakat yang memegang teguh budaya, menggunakan cara pandang tradisional dalam menyikapi sebuah risiko bencana menjadi salah satu penyebab jatuhnya banyak korban saat terjadi bencana. Sejumlah alasan yang bersifat mitologis selalu muncul saat diimbau untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. “Ada saja alasan mengapa mereka susah untuk diungsikan, mulai dari alasan berat meninggalkan harta kekayaan, harus menjaga tanah leluhur, hingga alasan yang bersifat mitologis. Kombinasi kesemuanya sering kali berujung fatal,†jelasnya.
Ditambahkan Arqom, di masyarakat terdapat pengetahuan dan keyakinan yang terkadang tidak bisa diuji dengan prosedur ilmiah, tetapi secara efektif menentukan sikap dan langkah yang diambil. Sementara di sisi lain, ilmu memiliki sifat terukur dan empiris, tetapi kadang-kadang kurang akrab dengan lokalitas. Dengan mengintegrasikan ilmu, agama, dan budaya diharapkan semua sisi tentang bencana dan agama bisa lebih dipahami.
Dengan mempertemukan sains, agama, dan kultur harapannya dapat diambil sisi-sisi positif yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, CRCS UGM akan menggelar konferensi bertajuk “Menuju Masyarakat Siap Bencana†pada 9-10 Maret 2011 di Sekolah Pascasarjana lantai 5. Para pakar yang berkecimpung dalam studi bencana, baik dari perspektif teknis maupun sosial, akan hadir dan menyampaikan pengalaman serta refleksi penting dalam proses penyiapan masyarakat siap bencana. Beberapa pakar yang akan hadir, antara lain, adalah Prof. Sudibyakto, Prof. Dr. Ali Ghufron , Dr. Sri Nuryani, Dr. Kwartarini, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, Dr. Arqom Kuswanjono, Dr. Nur Ikhwan, dan Agus Indiyanto, M.A.(Humas UGM/Ika)