Sensibilitas multimedia telah melahirkan kecenderungan baru dalam hasil-hasil karya sastra, yakni kecenderungan pascamodern. Sebagai produk dari sensibilitas, karya sastra bukan lagi sebuah teks tertutup yang lengkap dalam dirinya, melainkan menjadi teks yang terbuka dan membuka diri, yang koekstensif dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya, baik yang berupa citra-citra inderawi yang berbeda, dengan teks-teks lain, genre-genre lain, wacana-wacana lain, maupun dengan dunia nyata yang historis.
“Keterbukaan itu bukanlah keterbukaan yang bersifat spasial, statis, dan final, melainkan temporal, dinamik, dan prosesual. Dalam hal ini, finalitas sebuah karya tidak terletak pada ‘kedisanaan’nya, pada ketersediaan dan keberadaan secara objektif, tetapi pada keterlibatannya dalam proses-proses estetik, kultural, sosial, politik, bahkan ekonomi dalam ruang dan waktu tertentu,” ujar Prof. Dr. Faruk, S.U. di Balai Senat, Rabu (9/3) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Secara ontologis, karya-karya sastra pascamodern merupakan karya yang menghadirkan dirinya sedemikian rupa sebagai sebuah proses diskursif terbuka dan historis, bukan sesuatu yang final. Dengan cara keberadaan yang demikian, menurut Faruk, ilmu sastra tertantang untuk berupaya menemukan peralatan metodologis yang dapat menangkap dan memahami proses, dinamika, perubahan, dan variasi, bukan sesuatu yang statis, tetap, invarian. “Sesungguhnya jawaban atas tantangan ini mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan,” katanya.
Dalam pandangan Faruk, kesulitan menjadi lebih besar karena ilmu sastra selama ini sibuk dengan diskusi dan eksplorasi teoretik daripada metodologis. Jarang sekali terdapat buku yang membicarakan persoalan metode dalam penelitian sastra. “Karenanya tidak mengherankan jika Indonesia sendiri, tepatnya sejak akhir tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, ketika diskusi mengenai teori begitu hangat terjadi, para ilmuwan sastra terkesan masih belum bisa membedakan persoalan teoretik dengan persoalan metodologis,” ujar staf pengajar FIB UGM ini.
Kecenderungan tersebut dapat dilihat, misalnya, pada disertasi-disertasi yang dihasilkan pada periode itu, umpamanya disertasi dalam ilmu sastra yang pertama di UGM, ada ‘Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi’ (Sutrisno, 1983) dan disertasi I. Kuntara Wiryamartana yang berjudul ‘Arjunawiwaha’, yang dipertahankan pada 1982 dan diterbitkan pada tahun 1990. “Dengan demikian, ilmuwan sastra, khususnya di Indonesia, perlu memberikan perhatian yang lebih serius dengan melakukan penjelasan secara lebih ekstensif dan intensif terhadap persoalan-persoalan metodologis, khususnya yang berkaitan dengan fenomena karya-karya sastra pascamodernis yang lahir dari sensibilitas multimedia,” tutur pria kelahiran Banjarmasin, 10 Februari 1957 ini. (Humas UGM/ Agung)